A.
Pendahuluan
Dari
sejarah perkembangan filsafat, baik barat maupun timur tidak lepas dari peran
filsuf klasik. Perkembangan filsafat terus bergulir dalam kehidupan manusia. Ini
menunjukkan bahwa peran filsuf dalam kehidupan manusia tetap terjaga dan eksis
dalam mengatasi persoalan kehidupan manusia secara hati-hati serta sistematis melalui
suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu tindakan.[1]
Berbicara tentang filsafat, sebenarnya kita
sedang berbicara mencari hakikat sesuatu. Dan sesuatu inilah yang pada akhirnya
menjadi obyek pembahasan filsafat, yaitu hakikat Tuhan, hakikat Manusia dan
hakikat Alam. Diawali dari rasa ingin tahu akan hakikat sesuatu, dan rasa
ketidak pastian atau ragu-ragu, seseorang secara terus menerus berfikir untuk
mencari jawabannya.[2]
Maka upaya seseorang untuk mencari hakikat inilah sebenarnya ia sedang
berfilsafat. Dan upaya–upaya untuk menyingkap hakekat segala sesuatu yang
wujud, telah lama dilakukan oleh bangsa Yunani.[3] Salah
satunya adalah peran dari filsafat helenisme. Maka dalam pembahasan kali ini
akan membahas tentang filsafat helenisme. Oleh karena itu, sebelum melangkah
lebih jauh dan mendalam tentang helenime, terlebih dahulu apa yang dimaksud
dengan helenisme baik secara sistematis dan kronologis.
Istilah Helenisme adalah
istilah modern yang diambil dari bahasa Yunani kuno hellenizeinyang
berarti “berbicara atau berkelakuan seperti orang Yunani” (to speak or make
Greek). Helenisme Klasik: Yaitu kebudayaan Yunani yang
berkembang pada abad ke-5 dan ke-4 SM. Helenisme Secara Umum:
Istilah yang menunjuk kebudayaan yang merupakan gabungan antara budaya Yunani
dan budaya Asia Kecil, Syiria, Mesopotamia, dan Mesir yang lebih tua.[4] Lama
periode ini kurang lebih 300 tahun, yaitu mulai 323 SM (Masa Alexander Agung
atau Meninggalnya Aristoteles) hingga 20 SM (Berkembangnya Agama Kristen atau
Jaman Philo)[5]
Jadi pemikiran filsafat
helenisme adalah filsafat Yunani untuk mencari hakikat sesuatu atau sebuah
pemikiran untuk mencari suatu kebenaran yang terjadi pada masa Yunani kuno.
Yang mana peran serta perkembangannya tidak lepas dari peran Socrates, Plato
dan Aristoteles.[6]
Nah bagaimanakah pemikiran filsafat helenisme tersebut, secara singkat akan
dibahas di makalah ini.
Peralihan filsafat Yunani menjadi filsafat
Helen-Romawi disebabkan terutama oleh seorang yang bernama Alexandros, murid
Aristoteles. Tindakannya yang imperialis menyatukan seluruh dunia Grik ke dalam
satu kerajaan Macedonia. Sesudah itu ia menaklukkan bangsa-bangsa di Asia
Minor dan mengembangkan kekuasaannya sampai ke India. Semuanya itu
dijadikan beberapa propinsi kerajaanMacedonia. Bahkan Imperium Persia,
kekaisaran terbesar yang pernah disaksikan dunia, diremukkan lewat tiga
pertempuran.
Keadaan demikian menyebabkan filsafat Yunani
bukan lagi murni produk asli Yunani, tetapi telah terpengaruh oleh budaya
bangsa lain. Adat istiadat kuno bangsa Babilonia, beserta takhayul kuno mereka
menjadi tak asing lagi bagi pemikiran orang Yunani, demikian pula dualisme
Zoroastrian dan agama-agamaIndia, pun membaur dengan pemikiran Yunani. Dan pada
akhirnya melihat kawasan yang ditaklukkan semakin luas, akhirnya Alexandros
memberlakukan kebijakan yang menganjurkan pembauran secara damai antara bangsa
Yunani dengan bangsa lainnya.
Pada era ini, orang berpaling lagi kepada
sistem metafisika yang bercorak keagamaan. Dengan bersatunya beberapa bangsa
yang dipimpin oleh kerajaan Roma, telah merampas hak-hak bangsa lain yang ingin
merdeka. Hal itu menimbulkan lagi pandangan keagamaan, memupuk lagi hati
manusia untuk hidup beragama. Tindakan bala tentara Roma yang keras dan ganas
dapat memperkuat rasa kemanusiaan, dan dipupuk pula oleh berbagai macam agama
lama, yaitu agama Kristen dan Budha. Maka pada saat itu,
ajaran filsafat dan ajaran agama kembali berkontaminasi.[7]
Menurut Bertrand Russell,
pengaruh agama dan non Yunani terhadap dunia Hellenistis pada dasarnya buruk,
meski tak sepenuhnya demikian. Hal ini semestinya tak perlu terjadi. Kaum
Yahudi, Persia, dan Buddhis semuanya memiliki agama yang jauh lebih unggul
daripada politeisme rakyat Yunani, dan bahkan bisa dipelajari oleh para filosof
terbaik dengan hasil yang bermanfaat. Sayangnya, adalah bangsa Babilonia, atau
Chaldea, yang menananamkan pengaruh paling mendalam terhadap imajinasi bangsa
Yunani. Maka masa Hellen-Romawi adalah suatu fase filsafat yang tidak hanya
didominasi oleh filsafat asli Yunani. Akan tetapi filsafat pada fase ini bisa
dikatakan sebagai filsafat Trans Nasional.[8]
Filsafat Yunani pada masa
Hellen-Romawi dalam garis besarnya dapat dibagi dua; masa etik dan masa religi.
Berikut penjelasannya. Namun dalam pembahasan kali ini hanya membahas masa
etik.
Periode ini terdiri dari tiga
sekolah filsafat, yaitu Epikuros, Stoa dan Skeptis. Nama
sekolah yang pertama diambil dari kata pembangun sekolah itu sendiri, yaitu
Epikuros. Adapun nama sekolah yang kedua diambil dari kata”stoa” yang berarti
ruang. Sedangkan
nama skeptis diberikan karena mereka kritis terhadap para filosof klasik sebelumnya. Ajarannya dibangun dari berbagai ajaran
lama, kemudian dipilih dan disatukan.[9]
Untuk lebih jelasnya, dari ketiga macam sekolah tersebut, pemakalah akan
merincinya satu-persatu.
B. Epikuros (341 SM)
Epikuros dilahirkan di
samos pada tahun 341 SM. Pada tahun 306 ia
mulai belajar di Athena, dan di sinilah ia meninggal pada tahun 270. Filsafat
Epikuros diarahkan pada satu tujuan belaka, memberikan jaminan kebahagiaan kepada manusia.
Epikuros berbeda dengan Aristoteles yang mengutamakan penyelidikan ilmiah, ia
hanya mempergunakan pengetahuan yang diperolehnya dan hasil penyelidikan ilmu
yang sudah ia kenal, sebagai alat untuk membebaskan manusia dari ketakutan
agama. Yaitu rasa takut terhadap dewa-dewa yang ditanam dalam hati manusia oleh
agama Grik lama. Menurut pendapatnya ketakutan kepada agama itulah yang menjadi
penghalang besar untuk memperoleh kesenangan hidup. Dari sini dapat diketahui
bahwa Epikuros adalah penganut paham Atheis.
Epikuros adalah
seorang filosof yang menginginkan arah filsafatnya untuk mencapai kesenangan
hidup. Oleh karena itu tidak heran jika filosof yang satu ini menganut paham
atheis. Hal ini semata-mata ia lakukan untuk mencapai kebahagiaan yang
sempurna, tanpa ada yang membatasi. Menurutnya filsafat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu logika, fisika dan etik.
1) Logika. Epikuros
berpendapat bahwa logika harus melahirkan norma untuk pengetahuan dan kriteria
untuk kebenaran. Norma dan kriteria itu diperoleh dari pemandangan. Semua
yang kita pandang itu adalah benar. Baginya pandangan adalah kriteria yang
setinggi-tingginya untuk mencapai kebenaran. Logikanya tidak menerima kebenaran
sebagai hasil pemikiran. Kebenaran hanya dicapai dengan pemandangan dan
pengalaman.
2) Fisika. Teori
fisika yang ia ciptakan adalah untuk membebaskan manusia dari kepercayaan pada
dewa-dewa. Ia berpendapat bahwa dunia ini bukan dijadikan dan dikuasai
dewa-dewa, melainkan digerakkan oleh hukum-hukum fisika. Segala yang terjadi
disebabkan oleh sebab-sebab kausal dan mekanis. Tidak perlu dewa-dewa itu
diikutsertakan dalam hal peredaran alam ini. Manusia merdeka dan berkuasa
sendiri untuk menentukan nasibnya. Segala fatalisme berdasar kepada kepercayaan
yang keliru. Manusia sesudah mati tidak hidup lagi, dan hidup di dunia ini
terbatas pula lamanya, maka hidup itu adalah barang sementara yang tidak
ternilai harganya.
Oleh
sebab itu, menurutnya hidup adalah untuk mencari kesenangan. Dari pandangan
fisika yang dikemukakan Epikuros, sangat terlihat bahwa ia adalah penganut
paham atheisme. Teori-teori yang ia ciptakan adalah untuk menihilkan
peran Tuhan di dunia ini.
3) Etik. Ajaran
etik epikuros tidak terlepas dari teori fisika yang ia ciptakan. Pokok ajaran
etiknya adalah mencari kesenangan hidup. Kesenangan hidup ialah barang yang
paling tinggi nilainya. Kesenangan hidup berarti kesenangan badaniah dan
rohaniah. Badan terasa enak, jiwa terasa tentram. Yang paling penting dan mulia
menurutnya ialah kesenangan jiwa.
Dari
ketiga ajaran Epikuros, jika diaktualisasikan ke dalam agama Islam maka
akibatnya bisa fatal sekali. Seorang muslim akan menjadi atheis ketika
mengikuti ajaran Epikuros ini. Di sinilah bahaya filsafat jika kita telan
mentah-mentah tanpa ada proses penyaringan terlebih dahulu. Apalagi jika tidak
dilandasi dengan akidah yang kuat.
C. Stoa (340 SM)
Pendirinya
adalah Zeno dari Kition. Ia dilahirkan di Kition
pada tahun 340 sebelum Masehi. Awalnya ia hanyalah seorang saudagar yang suka berlayar.
Suatu ketika kapalnya pecah di tengah laut. Dirinya selamat, tapi hartanya
habis tenggelam. Karena itu entah mengapa ia berhenti berniaga dan tiba-tiba
belajar filsafat. Ia belajar kepada Kynia dan Megaria, dan
akhirnya belajar pada academia di bawah pimpinan Xenokrates, murid Plato
yang terkenal.
Setelah keluar ia
mendirikan sekolah sendiri yang disebut Stoa. Nama itu diambil dari ruangan
sekolahnya yang penuh ukiran Ruang, dalam bahasa Grik ialah “Stoa”. Tujuan
utama dari ajaran Stoa adalah menyempurnakan moral manusia. Dalam literatur
lain disebutkan bahwa pokok ajaran etik Stoa adalah bagaimana manusia hidup
selaras dengan keselarasan dunia. Sehingga menurut mereka kebajikan ialah akal
budi yang lurus, yaitu akal budi yang sesuai dengan akal budi dunia. Pada
akhirnya akan mencapai citra idaman seorang bijaksana; hidup sesuai dengan
alam. Seperti yang diungkap oleh Socrates bahwa manusia ada untuk satu tujuan, salah
dan benar memainkan peranan yang penting dalam mendefinisikan hubungan
seseorang dengan lingkungan dan sesamannya.[10]
Ajarannya tidak jauh beda
dengan Epikuros yang terdiri dari tiga bagian, yaitu logika, fisika dan etik.
1) Logika
: Menurut
kaum Stoa, logika maksudnya memperoleh kriteria tentang kebenaran. Dalam hal
ini, mereka memiliki kesamaan dengan Epikuros. Apa yang dipikirkan tak lain
dari yang telah diketahui pemandangan. Buah pikiran benar, apabila pemandangan
itu kena, yaitu memaksa kita membenarkannya. Pemandangan yang benar ialah suatu
pemandangan yang menggambarkan barang yang dipandang dengan terang dan tajam.
Sehingga orang yang memandang itu terpaksa membanarkan dan menerima isinya.
Apabila
kita memandang sesuatu barang, gambarannya tinggal dalam otak kita sebagai
ingatan. Jumlah ingatan yang banyak menjadi pengalaman. Kaum Stoa bertentangan
pendapatnya dengan Plato dan Aristoteles. Bagi Plato dan Aristoteles pengertian
itu mempunyai realita, ada pada dasarnya. Ingat misalnya ajaran Plato tentang
idea. Pengertian umum, seperti perkumpulan, kampung, binatang dan lain sebagainya
adalah suatu realita, benar adanya.[11]
Sedangkan menurut kaum Stoa, pengertian umum itu tidak ada realitanya, semuanya
itu adalah cetakan pikiran yang subjektif untuk mudah menggolongkan
barang-barang yang nyata.Hanya barang-barang yang
kelihatan yang mempunyai realita, nyata adanya. Seperti orang laki-laki, orang
perempuan, kuda putih, kucing hitam adalah suatu realita.
Pendapat
kaum Stoa ini disebut dalam filsafat pendapat nominalisme, sebagai
lawan dari realisme.
2) Fisika : kaum
Stoa tidak saja memberi pelajaran tentang alam, tetapi juga meliputi
teologi. Zeno
sebagai pendiri Stoa, menyamakan Tuhan dengan dasar pembangun. Dasar pembangun
ialah api yang membangun sebagai satu bagian daripada alam. Tuhan itu menyebar
ke seluruh dunia sebagai nyawa, seperti api yang membangun menurut sesuatu
tujuan. Semua yang ada tak lain dari api dunia itu atau Tuhan dalam berbagai
macam bentuk.
Menurut
mereka dunia ini akan kiamat dan terjadi lagi berganti-ganti. Pada akhirnya
Tuhan menarik semuanya kembali padanya, oleh karena itu padakebakaran dunia yang hebat, itu semuanya menjadi api. Dari api Tuhan itu,
terjadi kembali dunia baru yang sampai kepada bagiannya yang sekecil-kecilnya
serupa dengan dunia yang kiamat dahulu.
3) Etik. Inti
dari filsafat Stoa adalah etiknya. Maksud etiknya itu ialah mencari dasar-dasar
umum untuk bertindak dan hidup yang tepat. Kemudian malaksanakan dasar-dasar
itu dalam penghidupan. Pelaksanaan tepat dari dasar-dasar itu ialah jalan untuk
mengatasi segala kesulitan dan memperoleh kesenangan dalam penghidupan. Kaum
Stoa juga berpendapat bahwa tujuan hidup yang tertinggi adalah memperoleh
“harta yang terbesar nilainya”, yaitu kesenangan hidup.Kemerdekaan moril
seseorang adalah dasar segala etik pada kaum Stoa.
D. Skeptis
Skeptis artinya ragu-ragu. Mereka
ragu-ragu untuk menerima ajaran-ajaran yang dari ahli-ahli filsafat sebelumnya.
Perlu diperhatikan bahwa skeptisisme sebagai suatu
filsafat bukanlah sekedar keragu-raguan, melainkan sesuatu yang bisa disebut
keraguan dogmatis. Seorang ilmuwan mengatakan, “saya kira masalahnya begini dan
begitu, tetapi saya tidak yakin.” Seorang yang memiliki keingintahuan
intelektual berujar, “saya tidak tahu bagaimana masalahnya, tetapi saya akan
berusaha mengetahuinya.” Seorang penganut Skeptis filosofis mengatakan, “tak
seorang pun yang mengetahui, dan tak seorang pun yang akan bisa mengetahui.”
Ini merupakan unsur dogmatisme yang menyebabkan sistem tersebut lemah. Kaum
Skeptis, tentu saja, membantah bahwa mereka secara dogmatis menekankan mustahilnya
pengetahuan, namun bantahan mereka tidak meyakinkan.[12]
Di masa Helen-Romawi ada dua sekolah Skeptis.
Kedua-duanya sama pendiriannya, keduanya ragu-ragu tentang ajaran kaum klasik
yang menyatakan bahwa kebenaran dapat diketahui. Tetapi dalam hal apa yang
dimaksud dengan sikap ragu-ragu itu, kedua sekolah itu berbeda pahamnya. Sekolah
yang satu disebut kaum skeptis aliran Pyrrhon dari Elis. Pyrrhon
lahir pada tahun 360 SM dan meninggal pada tahun 270 SM. Sekolah yang kedua
disebut Skeptis Akademia, karena aliran ini lahir dalam Akademia yang
didirikan oleh Plato. Aliran ini lahir kira-kira seumur orang sesudah Plato meninggal. Untuk lebih lengkapnya, mari kita tinjau
satu-persatu.
1. Skeptis Pyrrhon
Skeptisisme sebagai
ajaran dari berbagai madzhab, dikemukakan pertama kali oleh Pyrrhon, yang
pernah menjadi seradu dalam pasukan Alexandros, dan pernah bertugas bersama
pasukan itu sampai ke India. Sampai di India ia mempelajari
mistik India. Tidak begitu mendalam, tatapi cukup baginya untuk menentukan
jalan pikirannya. Tatkala ia kembali ke Elis, kota tempat ia lahir,
didirikannya sekolah filsafat. Muridnya cukup banyak. Ia sendiri tidak pernah
menuliskan filsafatnya. Tatapi ajarannya itu diketahui orang dari uraian-uraian
para pengikutnya.
Menurut Pyrrhon, kebenaran
tidak dapat diduga. Kita harus sangsi terhadap sesuatu yang dikatakan orang
benar. Sebagai alasan disebutkannya, bahwa di luar ruang yang kosong dan atom
yang bergerak, yang dipikirkan oleh akal, tidak ada yang dapat diketahui dengan
pasti. Apa yang orang terima sebagai kebenaran, hanya berdasarkan kepada
kebiasaan yang diterima dari orang keorang. Rupanya
saja “benar”. Karena itu orang harus sangsi terhadap hasil pikiran yang disebut
benar. Pikiran itu sendiri saling bertentangan. Hal ini cukup ternyata dalam
pengalaman.[13]
Dari dua ucapan yang
bertentangan tentang sesuatu, mestilah satu yang benar dan yang lainnya salah. Dan untuk memutuskan mana yang benar dan
mana yang salah dalam pertentangan pendapat yang begitu banyak, perlulah ada
suatu kriteria tentang kebenaran. Kriteria itulah yang tidak ada. Oleh
karena itu kebenaran tidak dapat diketahui. Maka dari itu, menurut Pyrrhon,
seorang cerdik pandai hendaklah menguasai diri jangan memberi keputusan.
Menjauhkan diri dari sikap memutus adalah jalanyang ditunjukkan Pyrrhon untuk
mencapai kesenangan hidup.
2. Skeptis Akademia
Meskipun sekolah ini didirikan oleh Plato,
tetapi generasinya tidak lagi mengusung ajaran-ajaran
Plato. Para pengikut Plato, terutama di bawah
pengaruh Arkesilaos lebih mengutamakan ajaran Plato yang bersifat
negatif. Ajaran Arkesilaos berpangkal kepada ajaran Plato yang mengatakan bahwadunia yang kelihatan ini adalah
gambaran saja dari yang asli, bahwa pengetahuan yang didapat dari penglihatan
dan pemandangan adalah bayangan pengetahuan, bukan gambaran dari pengetahuan
yang sebenarnya. Pengetahuan yang sebenarnya tidak tercapai oleh manusia.
Arkesilaos dan para pengikutnya tidak sejauh
kaum sketis Pyrrhon menolak kemungkinan mencapai kebenaran. Mereka terutama
menolak dogma-dogma yang dikemukakan oleh kaum Epikuros dan kaum Stoa, bahwa segala pengetahuan berdasarkan pemandangan.
Mereka tidak menolak sama sekali kemungkinan untuk mencapai
pengetahuan. Norma pengetahuan itu ialah “kemungkinan”.[14]
Kaum Skeptis aliran Arkesilaos berpendapat
bahwa cita-cita orang bijaksana ialah bebas dari berbuat salah. Kaum Epikuros
dan Stoa mengatakan bahwa memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh dengan
membentuk dalam pikiran hasil pandangan. Menurut Arkesilaos yang seperti itu
tidak mungkin. Kriteria daripada kebenaran tidak dapat diperoleh dari
pikiran manusia. Sedangkan pikiran berdasarkan kepada bayangan saja,
barang-barang yang dipikirkan itu pada dasarnya tidak dapat dikenal.
Ketika Arkesilaos talah meninggal, ajaran itu
dihidupkan lagi oleh Karneades. Ia mengatakan bahwa kriteria bagi
kebenaran tidak ada. Pemandangan-pemandangan
tak pernah dapat membedakan dengan shahih pandangan yang benar dan pandangan
salah. Tetapi sekalipun kebenaran yang sebenarnya tidak dapat diketahui dan
pengetahuan yang shahih tidak dapat dicapai, orang tak perlu bersikap menolak
terus-menerus dan menjauhkan diri dari mempertimbangkan sesuatunya. Sebagai
pegangan dalam hidup sehari-hari dikemukakan oleh Karneades tiga tingkat “kemungkinan.” Pertama,
pemandangan itu mungkin benar. Kedua, kemungkinan itu tidak dapat dibantah.
Ketiga, kemungkinan itu tidak dapat dibantah dan telah ditinjau dari segala
sudut.
E. Peran Filsuf Grice terhadap Filsuf Helenisme
Perjalanan filsuf dalam
pengembangan ilmu pengatahuan tidak bisa dipungkiri perannya sangat besar bagi
perjalanan ilmu pengatahuan. Dalam dunia sejarah filsafat tokoh peran dari para
filosof klasik sangat berperan aktif
yang merupakan akar dari filsuf masa kini begitu juga filsuf helenisme yang
juga tidak lepas dari peran para filosof
Yunani.
Yunani adalah
sebuah Negara di Eropa yang telah memiliki pemikiran peradaban yang maju sejak
berabad-abad tahun yang lalu (Yunani kuno). Istilah Helenisme adalah istilah
modern yang diambil dari bahasa Yunani kuno hellenizeinyang berarti
“berbicara atau berkelakuan seperti orang Yunani” (to speak or make Greek). Helenisme
Klasik: Yaitu kebudayaan Yunani yang berkembang pada abad ke-5 dan ke-4
SM. Helenisme Secara Umum: Istilah yang menunjuk kebudayaan yang
merupakan gabungan antara budaya Yunani dan budaya Asia Kecil, Syiria,
Mesopotamia, dan Mesir yang lebih tua. Lama periode ini kurang lebih 300
tahun, yaitu mulai 323 SM (Masa Alexander Agung atau Meninggalnya Aristoteles)
hingga 20 SM (Berkembangnya Agama Kristen atau Jaman Philo)
Jadi
pemikiran filsafat helenisme adalah filsafat Yunani untuk mencari hakikat
sesuatu atau sebuah pemikiran untuk mencari suatu kebenaran yang terjadi pada
masa Yunani kuno. Jadi peran dari para tokoh Yunani khususnya pemikirannya
sangat menjadi rujukan para tokoh helenisme.[15]
Karena salah satu yang menjadi tujuan filsuf helenisme adalah mengembalikan
pemikiran murni para fulsuf Klasik.
F. KESIMPULAN
Pola fikir filsafat
helenisme Yunani pasca Aristoteles. Diantaranya : Epikuros,
Stoa, dan Skeptis dari periode etik. Sehingga dapat disimpulkan penjelasan ,diatas sebagai berikut.
Epikuros: Ia adalah filosof yang memuja kesenangan
hidup, ia menafikan dan menihilkan peran Tuhan di dunia. Menurutnya Tuhan hanya
menjadi penghalang untuk menikmati kesenangan hidup di dunia. Karena itu,
Epikuros adalah salah satu filosof yang beraliran atheis.
Stoa: Tujuan
utama dari ajaran Stoa adalah menyempurnakan moral manusia. Kriterianya tentang
kebenaran relatif sama dengan Epikuros yang mengatakan bahwa pemandangan adalah
kriteria setinggi-tingginya untuk mencapai kebenaran.
Skeptis: Mereka
adalah madzhab filsafat yang ragu-ragu terhadap ajaran-ajaran klasik. Menurut
mereka, kebenaran tidak dapat diduga. Dan untuk memutuskan mana yang benar dan
mana yang salah dalam pertentangan pendapat yang begitu banyak, perlulah ada
suatu kriteria tentang kebenaran. Kriteria itulah yang tidak ada. Oleh karena
itu norma pengatahuan adalah kemungkinan.
Demikianlah penjalasan masalah filsuf hellenisme, mudah-mudahan bermanfaan
memberikan cangrawala keilmuan dalam bidang filsafat,terutama dalam kajian
filsafat klasik. Amien..
[1]
Louis, O Kattof, Pengantar Filsafat, terj. Soejono (Yogjakarta: Tiara
wacana, 1995), 4.
[2]
Oemar Amin Hosesin, Filsafat Islam (Jakarta: 1961). 63.
[3]
Mohammad Hatta, Alam Pemikiran Yunani, (Jakarta: UI-Press, 1986). 4
[4]
Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000),
282
[5]
Ibid. 139
[6]
Jan Henderik Rapar, Pengantar Filsafat, (Jogjakarta: Kanisius,1996). 14
[7]
Mohammad Hatta, .142
[8]
Bertrand Russel, History of Westrn Philosopy. (London: George Allen and
UNWIN, 1964). 37
[9]
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat Dan katainnya dengan kondisi
sosia-politik dari zaman kono hingga sekarang ()Yogjakarta: Kanisius, 2014)
600.
[10]
Lois Althusser, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi (Yogyakarta: Resist
Books, 2007). 130.
[11]
Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodern. (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, cet, ke-II, 2009).64.
[12]
Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Jogjakarta:
Divapress, 2012). 21
[13]Mohamamad
Hatta, Alam Pemikiran Yunani,..157
[14]
Mohamamad Hatta, Alam Pemikiran Yunani,..158
[15]
Masyukur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, (Jogjakarta:
Ircisod, 2013). 244.