I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai kalam Allah meniscayakan bahwa
keotentikannya bersifat absolut. Petunjuk yang terkandung dalam al-Qur’an
senantiasa mengalir sepanjang masa. Kualitas petunjuk yang tersirat dalam al-Qur’an bersifat shamil (menyeluruh) dan solutif atas berbagai persoalan dalam kehidupan. Diantara cara memahami petunjuk tersebut,
seseorang harus mengetahui kaidah-kaidah yang terkait dengan pencapaian
petunjuk tersebut. Kaidah-kaidah tersebut adalah kaidah-kaidah tafsir
dan ta’wil yang sudah barang tentu diperlukan
bagi seseorang dalam memahami maksud dan tujuan dari apa yang difirmankan Allah
swt. dalam al-Qur’an.
Dalam makalah
ini, penulis akan membahas kaidah-kaidah yang terkait dengan tafsir
dan ta’wil secara singkat.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir
Kata “al-tafsir” adalah bentuk masdar dari kata “fassara” (menerangkan atau menjelaskan), al-tafsir juga bermakna al-bayan
yaitu “kashfu al-murad ‘an al-lafzi al-mushkil” (menyingkap apa yang dimaksud dari
kata/kalimat yang mushkil[1] (sulit)). Menurut Abu al-Baqa’ al-Kafawy, al-tafsir
bermakna al-istibanah wa al-kashfu (menjelaskan dan menyingkap makna yang
tersembunyi) serta menjelaskan lafaz al-Qur’an dengan kata atau lafaz yang lebih mudah dimengerti dari lafaz aslinya[2].
Tafsir menurut istilah adalah ilmu untuk memahami kitab
Allah (al-Qur’an) yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw.,
menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya[3]. Adapun menurut Abu Hayyan, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana mengungkapkan
lafaz-lafaz al-Qur’an, dalil-dalilnya, hukum-hukumnya, baik lafaz} tersebut dalam posisi mufrad (tunggal) maupun dalam
bentuk tarkib (susunan kalimat) beserta perangkat yang
menyertainya.[4] Istilah tafsir menurut al-suyuti seperti yang dikutip oleh adhdhahaby adalah ilmu yang membahas tentang arti atau maksud
firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia.[5]
B. Pengertian Ta’wil
Terma al-Ta’wil terambil dari kata al-Aul (الأول) yang bermakna al-Ruju’ (الرجوع) yaitu kembali. Dalam
kamus, kata al-Ta’wil berasal dari Ala ilaihi Aulan wa ma’alan (آل إليه أولا ومآلا) sinonim dari kata
Raja’a (رجع) yang bermakna irtadda (ارتد). Seperti ungkapan wa awala al-kalam wa ta’awwalahu (وأول الكلام وتأوله) yang bermakna Dabbarahu, wa qaddarahu, wa fassarahu, (merenunginya, memahaminya, menafsirkannya)[6].
Terma al-Ta’wil menurut istilah ulama’ salaf adalah
menafsirkan firman Allah dan menjelaskan maknanya baik makna zahir maupun makna batin. pengertian ini menyamakan makna tafsir dan ta’wil, sebagaimana al-Tabary dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat dengan
ungkapan: al-Qaulu fi ta’wil Qaulihi
ta’ala ...kadha wa kadha atau dengan ungkapan lain : ikhtalafa ahl al-Ta’wil fi hadhihi al-ayah. Adapun istilah al-Ta’wil menurut fuqaha’,
mutakallimin dan muhaddithin adalah mengembalikan makna lafaz} dari makna yang ra>jih kepada makna yang lebih ra>jih[7].
Menurut imam al-Suyuty,
tafsir adalah
penjelasan yang berkaitan dengan Riwayah , sedangkan ta’wil merupakan penjelasan yang berkaitan dengan Dirayah. Abu Nasr
al-Qushairy menyimpulkan, bahwa I’tibar
dalam tafsir adalah mendengar dan mengikuti riwayat, sedangkan menyimpulkannya adalah
bagian yang terkait dengan ta’wil[8].
Beberapa pengertian tafsir dan ta’wil di atas memeberikan kesan bahwa tampak
pengertian tafsir lebih umum daripada ta’wil. jika pendapat ini benar, maka otoritas dalam
menta’wilkan al-Qur’an hanya dimilki oleh beberapa orang pilihan saja. Oleh
karena itu tidak berlebihan jika Nabi saw. mendoakan Sahabat Ibn ‘Abbas dengan ungkapan :
allahumma faqqihhu fi
al-Din wa ‘allimhu al-Ta’wil. demikian itu boleh jadi seseorang dapat menafsirkan
al-Qur’an melalui data-data yang diperolehnya, tetapi dalam menyimpulkan
penafsiran-penafsiran yang diperoleh dari data-data tersebut dibutuhkan
intelektual dan kecapakan khusus yang tidak semua orang dapat melakukannya.
C. Perbedaan
Antara Tafsir
dan Ta’wil
Dari beberapa
Pengertian tafsir dan ta’wil di atas walaupun terdapat kesamaan, tetapi menurut
sebagian ulama terdapat beberapa perbedaan, diantaranya:
1.
Menurut al-Dhahaby
terma Al-Tafsir bermakna al-Kashfu
wa al-Bayan yaitu “kashfu
al-murad ‘an al-lafzi al-mushkil” (menyingkap apa yang dimaksud dari kata/kalimat yang mushkil) mengisyaratkan bahwa penyingkapan makna kalimat tersebut tidak
dapat dilaukan kecuali dengan menggunakan riwayat-riwayat yang ma’thur.
Oleh karena itu tafsir
berorientasi pada penjelasan yang diambil dari riwayat yang ma’thur, sedangkan ta’wil adalah penjelasan yang dapat dilakukan dengan ra’yu
(dirayah)[9].
2.
Pendapat al-Dhahaby di atas memberikan pengertian, bahwa otoritas tafsir adalah menjelaskan lafaz} dan kalimat secara Zahir yaitu
dengan merujuk pada data-data ilmiah, sedangkan ta’wil berorientasi pada penjelasan hakikat dari makna lafaz
dan kalimat yang terdapat dalam ayat al-Qur’an, atau dengan
ungkapan lain, tafsir dikhususkan
untuk menyingkap makna yang tersurat, sedangkan ta’wil dikhususkan untuk menyingkap makna yang tersirat.
3.
Memahami pendapat al-Dhahaby pada nomor satu diatas, mengindikasikan bahwa tafsir
berusaha memastikan kehendak dan maksud dari firman Allah swt.
melalui riwayat yang sahih, sedangkan ta’wil
berusaha untuk men-tarjih[10] dari beberapa alternatif yang terdapat dalam riwayat-riwayat
tersebut.
D. Kaidah Tafsir dan Ta’wil
Terma al-Qa’idah
dalam bahasa arab merupakan bentuk tunggal yang bermakna al-Ussi
(الأس). Bentuk pluralnya adalah al-Qawa’id atau al-Asas
(الأساس) yang berarti Pondasi, seperti ungkapan Qawa’id
al-Baiti Asasushu (dasar dari rumah adalah pondasinya)[11]. Dalam
al-Qur’an :… وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ
مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيل[12], ayat senada firman
Allah: [13]…فَأَتَى
اللَّهُ بُنْيَانَهُمْ مِنَ الْقَوَاعِد...
Terma al-Qa’idah menurut
istilah adalah aturan yang menyeluruh yang terbentuk atas beberapa elemen yang
dapat dibangun atasnya hukum-hukum[14].
Dari definisi Qa’idah di atas dapat penulis simpulkan, bahwa kaidah
tafsir maupun ta’wil adalah segala
jenis ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang menyeluruh yang dapat
membantu ketepatan dan kebenaran dalam menafsirkan dan mengambil istinbat} (konklusi) hukum dari ayat-ayat al-Qur’an. Adapun
macam-macam dari kaidah tafsir
dan ta’wil adalah sebagai berikut:
1.
Macam-macam Kaidah Tafsir
Memahami al-Qur’an pada hakikatnya adalah memahami kalam Allah.
Oleh karena itu diperlukan adanya kaidah-kaidah yang dapat mewujudkan pemahaman
yang komprehensif, sehingga fungsi al-Qur’an
sebagai petunjuk dapat terealisasikan dengan
baik. Diantara kaidah-kaidah dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an adalah: (1).
Kaidah al-Qur’an yang terkait dengan kebahasaan; (2). Kaidah al-Qur’an yang terkait dengan hukum; (3). Kaidah al-Qur’an yang terkait dengan ilmu-ilmu al-Qur’an.
Dalam makalah ini, penulis paparkan beberapa contoh dari salah satu
bentuk kaidah tafsir, yaitu kaidah kebahasan. Sebagaimana maklum, bahwa Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan dengan bahasa arab
agar dapat dipahami oleh seluruh ummat. Firman Allah: [15]إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُون . ayat tersebut memberikan pengertian, bahwa
dalam memahami al-Qur’an seseorang tidak lepas dari
ketentuan-ketentuan bahasa.
Kaidah kebahasaan ini meliputi balaghah, nahwu dan saraf, tetapi penulis akan sajikan beberapa dari dari kaidah
kebahasaan yaitu: Al-Nakirah dalam konteks
al-Nahyi, al-Nafyi, al-Shart atau al-Istifham menunjuk pengertian umum.
Contoh kata nakirah yang dinafikan adalah ketika al-Qur’an menyebutkan sifat hari kiamat. Firman Allah: [16]يَوْمَ
لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا ...ِ (suatu
hari ketika seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain). Kata nafs
dalam ayat di atas bersifat umum; siapapun orangnya berkedudukan sama ditinjau
dari segi ketidakmampuan membantu orang lain. Demikian juga kata shai’an adalah nakirah
yang dinafikan menunjuk pengertian umum, yaitu pada hari kiamat apapun tidak
dapat diberikan kepada orang lain, baik sesuatu yang berguna maupun yang dapat
menghindarkan bahaya siksa yang akan menimpa orang lain[17].
Contoh nakirah dalam bentuk larangan. Firman Allah: [18]..وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا
بِهِ شَيْئًا (Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun). Larangan
mempersekutukan Allah dalam ayat tersebut mencakup segala sesuatu yang
mengandung unsur syirik; baik berbentuk niat, perkataan, perbuatan, maupun
syirik besar, kecil, nyata (al-Jaliy), maupun
tersembunyi (al-Khafy). Dengan
kata lain seseorang tidak boleh dan tidak pantas mempersekutukan Allah dan
menserikatkan-Nya dengan cara apapun[19].
Adapun contoh nakirah yang diungkapkan dalam bentuk istifham adalah firman Allah dalam surat fat}ir (35) ayat 3: ...هل من خالق غير الله يرزقكم من السماء والأرض لا إله إلا هو…(Adakah Pencipta selain Allah yang dapat
member rizki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia?).
Ayat tersebut mengandung arti, bahwa hanya Allah yang memberi
rizki kepada makhluk-Nya.[20]
2.
Macam-macam Kaidah Ta’wil
Kajian yang terkait dengan ta’wil tidak dapat dilepaskan dari eksistensi
ayat-ayat mutashabihat yang terdapat dalam al-Qur’an. hal itu disebabkan oleh adanya sebagian ulama yang
membolehkan penta’wilan terhadap ayat-ayat al-Qur’an, walaupun sebagian ulama lain menolak adanya ta’wil dalam al-Qur’an. Perbedaan-perbedaan tersebut didasarkan pada
perbedaan tata bahasa (nahwiyyah), yaitu ayat : والراسخون فى العلم yang terdapat dalam surat ali Imran merupakan ‘ataf kepada ayat sebelumnya atau tidak?, serta
kalimat : يقولون... ...dipahami sebagai mubtada’.[21] Dalam makalah ini, penulis tidak membahas
perbedaan-perbedaan tersebut.
Sebagaimana dipahami dari eksistensi ayat-ayat mutashabihat, maka dalam kaidah-kaidah yang terkait dengan ta’wil sangat erat hubungannya dengan kaidah-kaidah ayat-ayat mutashabihat. Dalam hal ini,
ada tiga macam kaidah ayat-ayat mutashabihat, yaitu; (1). Ayat-ayat al-Qur’an yang tidak dapat ditela’ah kecuali hanya Allah saja yang
mengetahuinya. Termasuk dalam kajian ini adalah ayat-ayat yang terkait dengan
hari kiamat dan sifat-sifat dan dhat Allah swt.; (2). Ayat-ayat al-Qur’an yang memungkinkan untuk ditela’ah yaitu dapat dilakukan
dengan jalan ijtihad dan akal sehat; (3). Ayat-ayat yang secara khusus hanya
orang-orang yang ilmunya mendalam (الراسخون فى العلم) yang dapat memahami
ayat-ayat mutashabihat dalam al-Qur’an, mereka adalah orang-orang yang cerdas (أولوا الألباب)[22].
Penjelasan-penjelasan yang terkait dengan problematika ta’wil serta ayat mutashabihat di
atas sangat jelas, bahwa Orientasi dari aplikasi ta’wil sebagaimana yang telah dijelaskan di atas adalah
menafsirkan al-Qur’an dengan
pendekatan ra’yu (dirayah), oleh karena itu,
pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah
objektifitas akal dalam memahami makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dalam makalah ini penulis paparkan sebagian contoh sederhana
dari kaidah ta’wil yang mudah dipahami, yaitu kaidah yang
terkait dengan kehendak Tuhan berhubungan erat dengan hukum sebab akibat.
Di dalam al-Qur’an terdapat
beberapa ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa karena kehendak mutlak Allah,
Dia memberi petunjuk atau menyesatnya hambanya : مَنْ
يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ[23], sedangkan dalam ayat lain
menyebutkan, pemberian petunjuk atau kesesatan tersebut juga karena adanya
sebab-sebab yang dilakukan oleh hamba-Nya. Hal yang sama adalah ayat-ayat yang terkait dengan
pengampunan Allah atau ayat-ayat tentang persoalan rizki serta ukuran besar dan
kecilnya rizki yang diperoleh seseorang. Menurut beberapa ayat, semua itu
berdasarkan kehendak mutlak Allah, tetapi menurut beberapa ayat lain, hal
tersebut berkaitan dengan sebab-sebab yang datang dari hamba yang bersangkutan.
Dalam memahami
kaidah di atas yang terkait dengan kehendak mutlak Allah dan hukum kausalitas,
Abd Rahman Dahlan menjelaskan, bahwa ayat-ayat yang secara umum menyebutkan
bahwa Allah memberi petunjuk, menyesatkan, mengampuni dosa, menyiksa, memberi
rahmat, ataupun menentukan besar kecilnya rizki berdasarkan kehendak mutlak
Allah, tujuan ayat-ayat tersebut, sesuai dengan konteksnya adalah untuk
menunjukan kemahaesaan dan kemahakuasaan Allah dalam menciptakan dan mengatur
segala sesuatu. Dalam pengertian lain, Allah hendak menegaskan bahwa Dia adalah
Tuhan yang maha mengetahui, maha kuasa, maha adil, maha sempurna, maha tinggi,
dan semua sumber kekayaan berada di atangan-Nya. Dia-lah Tuhan yang menunjuki
dan menyesatkan manusia, Dia juga yang mengampuni dan menyiksa manusia,
mengangkat dan merendahkan derajat manusia, serta memberi dan menahan rizki
mereka. Adapun ayat-ayat al-Qur’a>n yang terkait dengan petunjuk yang
diberikan-Nya atau kesesatan yang ditimpakan-Nya kepada manusia karena
sebab-sebab tertentu yang terdapat pada manusia, hendaknya dipahami, bahwa
ayat-ayat tersebut bertujuan untuk mengingatkan manusia agar menyadari dan
berusaha menghindari sebab-sebab yang dapat mengakibatkan efek negatif yang
mengancam diri dan akidahnya[24].
Contoh ayat-ayat yang terkait dengan
petunjuk Allah dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan manusia adalah firman
Allah dalam surat al-Lail ayat ke 5-10 :
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى
(5) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (6) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (7) وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ
وَاسْتَغْنَى (8) وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى (9) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى (10)
Adapun orang
yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. dan membenarkan adanya
pahala yang terbaik (syurga). Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan
yang mudah. dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. serta
mendustakan pahala terbaik. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan)
yang sukar.
Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa yang menyebabkan adanya pemberian petunjuk dan
kemudahan dari Allah kepada seseorang ialah dikarenakan seseorang beriman
kepada kemahabijaksanaan Allah dalam hukum kausalitas yang diciptan dan
disyariatkan Allah swt. Sebaliknya Allah menimpakan kesesatan kepada seseorang
yang menentang sunnat Allah dan
mendurhakai Allah. Dengan mengetahui dan menyadari sunnat Allah tersebut, tentu seseorang akan menempuh sunnat
Allah dan mematuhi segala perintah Allah
swt. untuk mendapatkan petunjuk dan kemudahan dari-Nya[25].
Dari beberapa penjelasan di atas, tampak bahwa pendekatan yang
digunakan dalam memahami ayat-ayat yang terkait dengan kehendak mutlak
Tuhan dan
hukum kausalitas adalah dengan cara kompromisasi, yaitu mengompromikan
ayat-ayat yang terkait dengan kehendak mutlak Tuhan dengan ayat-ayat yang
terkait dengan hukum kausalitas yang dilakukan manusia. Usaha mengkompromikan
ayat-ayat tersebut menurut penulis termasuk dalam kaidah ta’wil, yang dalam aplikasinya disamping menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai penjelas, namun tidak lepas dari keterlibatan akal dalam
mengkaji dan menganalisa bentuk dari kompromisasi tersebut. Menurut penulis,
dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an tidak
terlepas dari kaidah-kaidah ta’wil
semacam di atas. Hal itu disebabkan oleh adanya sebagian besar ayat-ayat al-Qur’an yang redaksinya bersifat metaforis (majazy). Unsur-unsur yang terkait dengan redaksi metaforis tersebut
tidak-lah dapat dipahami oleh seeorang yang tidak memiliki intelektualitas
yang memadai. Hal itu disebabkan makna
metaforis dipakai bukan pada makna yang diperuntukkan baginya (bukan makna asli),
karena adanya hubungan (‘alaqah)
diikuti dengan tanda-tanda yang mencegah penggunaan makna asli tersebut[26].
III.
SIMPULAN
Allah menurunkan al-Qur’an yang diantaranya adalah terdapat ayat-ayat muhkamat yaitu ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dan ayat-ayat mutashabihat , yaitu ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan sulit dipahami oleh
manusia biasa. Jika dipahami dari beberapa penjelasan terkait dengan kajian tafsir dan ta’wil di atas, maka tampak bahwa kaidah-kaidah dalam tafsir adalah kaidah-kaidah yang terkait dengan semua persoalan
ayat-ayat muhkamat. adapun kaidah-kaidah dalam ta’wil adalah kebalikan dari kaidah tafsir, yaitu kaidah-kaidah yang terkait dengan persoalan
ayat-ayat mutashabihat.
Wa Allah A’lam bi al-Sawab.
BIBLIOGRAFI
Abdul Mu’in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, Cet.3, 2010
Ahmad Hashimi, Jawahir al-Balaghah , Beirut:
Dar al-Fikr, 1978.
Abd. Rahman Dahlan,
Kaidah-Kaidah Tafsir , Jakarta: AMZAH, Cet 1, 2010.
Fahd Bin ‘Abd al-Rahman Bin Sulaiman al-Rumy, Buhuth Fi Usul
al-Tafsir wa Manahijuhu , ttp, Maktabah
al-Taubah, tt.
Husain Bin ‘Aly Bin Husain al-Haraby, Qawa’id
al-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin, Riyad, Dar al-Qasim, Cet 1, 1996.
Hafny Muhammad Sharaf, ‘I’jaz al-Qur’an
al-Bayany Baina al-Nazariyyah wa al-Tatbiq , ttp: al-Majlis al-A’la
lisshuun al-Islamiyyah, Kitab ke 4, 1970.
Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman Bin Abi Bakr al-SuyutI,
al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an , Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Cet 1,
1425.
Muhammad Husain al-Dhahaby, ‘Ilm al-Taafsir ,
ttp. Dar al-Ma’arif, tt
Salah ‘Abdu al-Fattah
al-Khalidy, al-Tafsir al-Maudu’i Baina al-Nazariyah wa al-Tatbiq , ttp: Dar al-Nafa’is, tt.
[1]Lafz}u
al-Mushkil adalah kata yang bentuknya sendiri tidak
menunjuk kepada makna yang dikehendaki, tetapi harus ada qarinah luar yang menjelaskan apa yang dimaksud. Misalnya firman Allah: والمطلقات يتربصن بأنفسهمن ثلاثة قروء . Abdul Mu’in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir
(Yogyakarta: Teras, Cet.3, 2010), 131
[2]Salah ‘Abdu al-Fattah al-Khalidy, al-Tafsir al-Maud}u’i
Baina al-Nazariyah wa al-Tatbiq (ttp: Dar al-Nafa’is, tt), 11
[3]Fahd
Bin ‘Abd al-Rahman Bin Sulaiman al-Rumy, Buhuth Fi Usul al-Tafsir wa
Manahijuhu (ttp, Maktabah al-Taubah, tt), 8
[4]Termasuk perangkat yang menyertai tarkib meliputi
bahasa arab berserta perangkatnya, balaghah dan perangkatnya., Ibid. 8
[5]Muhammad
H}usain al-Dhahaby, ‘Ilm al-Taafsir (ttp. Dar al-Ma’arif, tt), 6
[6]Ibid.7
[7]Ibid.7
[8]
Ibid.8
[9]Ibid. 8
[10]Usaha men-tarjih dikelompokkan pada kategori ta’wil, karena dalam proses pe-tarjih-an dibutuhkan
perangkat-perangkat intelektual sebagai barometer keobjektifan dari suatu penafsiran
dengan penggunaan daya akal yang tajam (al-‘Aql al-Salim) .
[11]Husain Bin ‘Aly Bin Husain
al-Haraby, Qawa’id al-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin (Riyad}, Dar al-Qasim,
Cet 1, 1996), 36
[12]Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah),
127
[13]Al-Qur’an, 16 (al-Nahl),
26
[15]Artinya: Sesungguhnya kami menurunkannya berupa al-Qur’a>n berbahasa arab, agar kamu mengerrti (QS. Yusuf): 2
[16]Al-Qur’a>n,
82 (al-Infit}a>r), 18
[17]Abd.
Rahman Dahla>n, Kaidah-Kaidah Tafsi>r (Jakarta: AMZAH, Cet 1,
2010), 55
[18]Al-Qur’an, 4 (al-Nisa’), 36
[19]Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah
Tafsir, 56
[20]Ibid, 57
[21]Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman Bin
Abi Bakr al-Suyut}I, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, Cet 1, 1425), 311
[22]Hafny Muhammad Sharaf, ‘I’jaz
al-Qur’an al-Bayany Baina al-Nazariyyah wa al-Tatbiq (ttp: al-Majlis
al-A’la lisshuun al-Islamiyyah, Kitab ke 4, 1970), 234
[23]Al-Qur’an, 7 (al-A’raf), 178
[24]Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah
Tafsir, 225-227
[25]Ibid. 227
[26]Ahmad Hashimi, Jawahir
al-Balaghah (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), 290
0 komentar:
Posting Komentar