Jumat, 03 Januari 2014

KAIDAH TAFSIR DAN TA’WIL



I.   PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai kalam Allah meniscayakan bahwa keotentikannya bersifat absolut. Petunjuk yang terkandung dalam al-Qur’an senantiasa mengalir sepanjang masa. Kualitas petunjuk yang tersirat dalam al-Qur’an bersifat shamil (menyeluruh) dan solutif atas berbagai persoalan dalam kehidupan. Diantara cara memahami petunjuk tersebut, seseorang harus mengetahui kaidah-kaidah yang terkait dengan pencapaian petunjuk tersebut. Kaidah-kaidah tersebut adalah kaidah-kaidah tafsir dan ta’wil yang sudah barang tentu diperlukan bagi seseorang dalam memahami maksud dan tujuan dari apa yang difirmankan Allah swt. dalam al-Qur’an.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas kaidah-kaidah yang terkait dengan tafsir dan ta’wil secara singkat.
II. PEMBAHASAN
A.   Pengertian Tafsir
Kata “al-tafsir” adalah bentuk masdar dari kata “fassara” (menerangkan atau menjelaskan), al-tafsir juga bermakna al-bayan  yaitu “kashfu al-murad ‘an al-lafzi al-mushkil” (menyingkap apa yang dimaksud dari kata/kalimat yang mushkil[1] (sulit)). Menurut Abu al-Baqa’ al-Kafawy, al-tafsir bermakna al-istibanah wa al-kashfu (menjelaskan dan menyingkap makna yang tersembunyi) serta menjelaskan lafaz al-Qur’an dengan kata atau lafaz yang lebih mudah dimengerti dari lafaz aslinya[2].
Tafsir menurut istilah adalah ilmu untuk memahami kitab Allah (al-Qur’an) yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw., menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya[3]. Adapun menurut Abu Hayyan, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana mengungkapkan lafaz-lafaz al-Qur’an, dalil-dalilnya, hukum-hukumnya, baik lafaz} tersebut dalam posisi mufrad (tunggal) maupun dalam bentuk tarkib (susunan kalimat) beserta perangkat yang menyertainya.[4] Istilah tafsir menurut al-suyuti seperti yang dikutip oleh adhdhahaby adalah ilmu yang membahas tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia.[5]
B.  Pengertian Ta’wil
Terma al-Ta’wil terambil dari kata al-Aul (الأول) yang bermakna al-Ruju’ (الرجوع) yaitu kembali. Dalam kamus, kata al-Ta’wil berasal dari Ala ilaihi Aulan wa ma’alan (آل إليه أولا ومآلا) sinonim dari kata Raja’a (رجع) yang bermakna irtadda (ارتد). Seperti ungkapan wa awala al-kalam wa ta’awwalahu (وأول الكلام وتأوله) yang bermakna Dabbarahu, wa qaddarahu, wa fassarahu, (merenunginya, memahaminya, menafsirkannya)[6].
Terma al-Ta’wil menurut istilah ulama’ salaf adalah menafsirkan firman Allah dan menjelaskan maknanya baik makna zahir maupun makna batin. pengertian ini menyamakan makna tafsir dan ta’wil, sebagaimana al-Tabary dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat dengan ungkapan: al-Qaulu fi ta’wil Qaulihi ta’ala ...kadha wa kadha atau dengan ungkapan lain : ikhtalafa ahl al-Ta’wil fi hadhihi al-ayah. Adapun istilah al-Ta’wil menurut fuqaha’, mutakallimin dan muhaddithin adalah mengembalikan makna lafaz} dari makna yang ra>jih kepada makna yang lebih ra>jih[7].
Menurut imam al-Suyuty, tafsir adalah penjelasan yang berkaitan dengan Riwayah , sedangkan ta’wil merupakan penjelasan yang berkaitan dengan Dirayah. Abu Nasr al-Qushairy menyimpulkan, bahwa I’tibar dalam tafsir adalah mendengar dan mengikuti riwayat, sedangkan menyimpulkannya adalah bagian yang terkait dengan ta’wil[8].
Beberapa pengertian tafsir dan ta’wil di atas memeberikan kesan bahwa tampak pengertian tafsir lebih umum daripada ta’wil. jika pendapat ini benar, maka otoritas dalam menta’wilkan al-Qur’an hanya dimilki oleh beberapa orang pilihan saja. Oleh karena itu tidak berlebihan jika Nabi saw. mendoakan Sahabat Ibn ‘Abbas dengan ungkapan :  allahumma faqqihhu fi al-Din wa ‘allimhu al-Ta’wil. demikian itu boleh jadi seseorang dapat menafsirkan al-Qur’an melalui data-data yang diperolehnya, tetapi dalam menyimpulkan penafsiran-penafsiran yang diperoleh dari data-data tersebut dibutuhkan intelektual dan kecapakan khusus yang tidak semua orang dapat melakukannya.
C.  Perbedaan Antara Tafsir dan Ta’wil
Dari beberapa Pengertian tafsir dan ta’wil di atas walaupun terdapat kesamaan, tetapi menurut sebagian ulama terdapat beberapa perbedaan, diantaranya:
1.    Menurut al-Dhahaby terma Al-Tafsir bermakna al-Kashfu wa al-Bayan yaitu kashfu al-murad ‘an al-lafzi al-mushkil” (menyingkap apa yang dimaksud dari kata/kalimat yang mushkil) mengisyaratkan bahwa penyingkapan makna kalimat tersebut tidak dapat dilaukan kecuali dengan menggunakan riwayat-riwayat yang ma’thur. Oleh karena itu tafsir berorientasi pada penjelasan yang diambil dari riwayat yang ma’thur, sedangkan ta’wil  adalah penjelasan yang dapat dilakukan dengan ra’yu (dirayah)[9].
2.    Pendapat al-Dhahaby di atas memberikan pengertian, bahwa otoritas tafsir adalah menjelaskan lafaz} dan kalimat secara Zahir yaitu dengan merujuk pada data-data ilmiah, sedangkan ta’wil berorientasi pada penjelasan hakikat dari makna lafaz dan kalimat yang terdapat dalam ayat al-Qur’an, atau dengan ungkapan lain, tafsir dikhususkan untuk menyingkap makna yang tersurat, sedangkan ta’wil dikhususkan untuk menyingkap makna yang tersirat.     
3.    Memahami pendapat al-Dhahaby pada nomor satu diatas, mengindikasikan bahwa tafsir berusaha memastikan kehendak dan maksud dari firman Allah swt. melalui riwayat yang sahih, sedangkan ta’wil berusaha untuk men-tarjih[10] dari beberapa alternatif yang terdapat dalam riwayat-riwayat tersebut.

D.  Kaidah Tafsir dan Ta’wil
Terma al-Qa’idah dalam bahasa arab merupakan bentuk tunggal yang bermakna al-Ussi (الأس). Bentuk pluralnya adalah al-Qawa’id atau al-Asas (الأساس) yang berarti Pondasi, seperti ungkapan Qawa’id al-Baiti Asasushu (dasar dari rumah adalah pondasinya)[11]. Dalam al-Qur’an :… وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيل[12],  ayat senada firman Allah: [13]فَأَتَى اللَّهُ بُنْيَانَهُمْ مِنَ الْقَوَاعِد...
Terma al-Qa’idah menurut istilah adalah aturan yang menyeluruh yang terbentuk atas beberapa elemen yang dapat dibangun atasnya hukum-hukum[14].
Dari definisi Qa’idah di atas dapat penulis simpulkan, bahwa kaidah tafsir maupun ta’wil adalah  segala jenis ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang menyeluruh yang dapat membantu ketepatan dan kebenaran dalam menafsirkan dan mengambil istinbat} (konklusi) hukum dari ayat-ayat al-Qur’an. Adapun macam-macam dari kaidah tafsir dan ta’wil adalah sebagai berikut:
1.    Macam-macam Kaidah Tafsir
Memahami al-Qur’an pada hakikatnya adalah memahami kalam Allah. Oleh karena itu diperlukan adanya kaidah-kaidah yang dapat mewujudkan pemahaman yang komprehensif, sehingga fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk dapat terealisasikan dengan baik. Diantara kaidah-kaidah dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an adalah:  (1). Kaidah al-Qur’an yang terkait dengan kebahasaan; (2). Kaidah al-Qur’an yang terkait dengan hukum; (3). Kaidah al-Qur’an yang terkait dengan ilmu-ilmu al-Qur’an.
Dalam makalah ini, penulis paparkan beberapa contoh dari salah satu bentuk kaidah tafsir, yaitu kaidah kebahasan. Sebagaimana maklum, bahwa Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan dengan bahasa arab agar dapat dipahami oleh seluruh ummat. Firman Allah:  [15]إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُون . ayat tersebut memberikan pengertian, bahwa dalam memahami al-Qur’an seseorang tidak lepas dari ketentuan-ketentuan bahasa.
Kaidah kebahasaan ini meliputi balaghah, nahwu dan saraf, tetapi penulis akan sajikan beberapa dari dari kaidah kebahasaan yaitu: Al-Nakirah dalam konteks al-Nahyi, al-Nafyi, al-Shart atau al-Istifham menunjuk pengertian umum.
Contoh kata nakirah yang dinafikan adalah ketika al-Qur’an menyebutkan sifat hari kiamat. Firman Allah: [16]يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا ...ِ  (suatu hari ketika seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain). Kata nafs dalam ayat di atas bersifat umum; siapapun orangnya berkedudukan sama ditinjau dari segi ketidakmampuan membantu orang lain. Demikian juga kata shai’an adalah nakirah yang dinafikan menunjuk pengertian umum, yaitu pada hari kiamat apapun tidak dapat diberikan kepada orang lain, baik sesuatu yang berguna maupun yang dapat menghindarkan bahaya siksa yang akan menimpa orang lain[17].
Contoh nakirah dalam bentuk larangan. Firman Allah: [18]..وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا (Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun). Larangan mempersekutukan Allah dalam ayat tersebut mencakup segala sesuatu yang mengandung unsur syirik; baik berbentuk niat, perkataan, perbuatan, maupun syirik besar, kecil, nyata (al-Jaliy), maupun tersembunyi (al-Khafy). Dengan kata lain seseorang tidak boleh dan tidak pantas mempersekutukan Allah dan menserikatkan-Nya dengan cara apapun[19].
Adapun contoh nakirah yang diungkapkan dalam bentuk istifham adalah firman Allah dalam surat fat}ir (35) ayat 3: ...هل من خالق غير الله يرزقكم من السماء والأرض لا إله إلا هو…(Adakah Pencipta selain Allah yang dapat member rizki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia?). Ayat tersebut mengandung arti, bahwa hanya Allah yang memberi rizki kepada makhluk-Nya.[20]
2.    Macam-macam Kaidah Ta’wil
Kajian yang terkait dengan ta’wil tidak dapat dilepaskan dari eksistensi ayat-ayat mutashabihat yang terdapat dalam al-Qur’an. hal itu disebabkan oleh adanya sebagian ulama yang membolehkan penta’wilan terhadap ayat-ayat al-Qur’an, walaupun sebagian ulama lain menolak adanya ta’wil dalam al-Qur’an. Perbedaan-perbedaan tersebut didasarkan pada perbedaan tata bahasa (nahwiyyah), yaitu ayat : والراسخون فى العلم yang terdapat dalam surat ali Imran merupakan ‘ataf kepada ayat sebelumnya atau tidak?, serta kalimat : يقولون...  ...dipahami sebagai mubtada’.[21] Dalam makalah ini, penulis tidak membahas perbedaan-perbedaan tersebut.
Sebagaimana dipahami dari eksistensi ayat-ayat mutashabihat, maka dalam kaidah-kaidah yang terkait dengan ta’wil sangat erat hubungannya dengan kaidah-kaidah ayat-ayat mutashabihat. Dalam  hal ini, ada tiga macam kaidah ayat-ayat mutashabihat, yaitu; (1). Ayat-ayat al-Qur’an yang tidak dapat ditela’ah kecuali hanya Allah saja yang mengetahuinya. Termasuk dalam kajian ini adalah ayat-ayat yang terkait dengan hari kiamat dan sifat-sifat dan dhat Allah swt.; (2). Ayat-ayat al-Qur’an yang memungkinkan untuk ditela’ah yaitu dapat dilakukan dengan jalan ijtihad dan akal sehat; (3). Ayat-ayat yang secara khusus hanya orang-orang yang ilmunya mendalam (الراسخون فى العلم) yang dapat memahami ayat-ayat mutashabihat dalam al-Qur’an, mereka adalah orang-orang yang cerdas (أولوا الألباب)[22].
Penjelasan-penjelasan yang terkait dengan problematika ta’wil serta ayat mutashabihat  di atas sangat jelas, bahwa Orientasi dari aplikasi ta’wil sebagaimana yang telah dijelaskan di atas adalah menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan ra’yu (dirayah), oleh karena itu,  pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah objektifitas akal dalam memahami makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dalam makalah ini penulis paparkan sebagian contoh sederhana dari kaidah ta’wil yang mudah dipahami, yaitu kaidah yang terkait dengan kehendak Tuhan berhubungan erat dengan hukum sebab akibat.
Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa karena kehendak mutlak Allah, Dia memberi petunjuk atau menyesatnya hambanya : مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ[23], sedangkan dalam ayat lain menyebutkan, pemberian petunjuk atau kesesatan tersebut juga karena adanya sebab-sebab yang dilakukan oleh hamba-Nya. Hal yang sama adalah ayat-ayat yang terkait dengan pengampunan Allah atau ayat-ayat tentang persoalan rizki serta ukuran besar dan kecilnya rizki yang diperoleh seseorang. Menurut beberapa ayat, semua itu berdasarkan kehendak mutlak Allah, tetapi menurut beberapa ayat lain, hal tersebut berkaitan dengan sebab-sebab yang datang dari hamba yang bersangkutan.
Dalam memahami kaidah di atas yang terkait dengan kehendak mutlak Allah dan hukum kausalitas, Abd Rahman Dahlan menjelaskan, bahwa ayat-ayat yang secara umum menyebutkan bahwa Allah memberi petunjuk, menyesatkan, mengampuni dosa, menyiksa, memberi rahmat, ataupun menentukan besar kecilnya rizki berdasarkan kehendak mutlak Allah, tujuan ayat-ayat tersebut, sesuai dengan konteksnya adalah untuk menunjukan kemahaesaan dan kemahakuasaan Allah dalam menciptakan dan mengatur segala sesuatu. Dalam pengertian lain, Allah hendak menegaskan bahwa Dia adalah Tuhan yang maha mengetahui, maha kuasa, maha adil, maha sempurna, maha tinggi, dan semua sumber kekayaan berada di atangan-Nya. Dia-lah Tuhan yang menunjuki dan menyesatkan manusia, Dia juga yang mengampuni dan menyiksa manusia, mengangkat dan merendahkan derajat manusia, serta memberi dan menahan rizki mereka. Adapun ayat-ayat al-Qur’a>n yang terkait dengan petunjuk yang diberikan-Nya atau kesesatan yang ditimpakan-Nya kepada manusia karena sebab-sebab tertentu yang terdapat pada manusia, hendaknya dipahami, bahwa ayat-ayat tersebut bertujuan untuk mengingatkan manusia agar menyadari dan berusaha menghindari sebab-sebab yang dapat mengakibatkan efek negatif yang mengancam diri dan akidahnya[24].
Contoh ayat-ayat yang terkait dengan petunjuk Allah dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan manusia adalah firman Allah dalam surat al-Lail ayat ke 5-10 :
  فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (5) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (6) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (7) وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى (8) وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى (9) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى (10)
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga). Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. serta mendustakan pahala terbaik. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.
Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa yang menyebabkan adanya pemberian petunjuk dan kemudahan dari Allah kepada seseorang ialah dikarenakan seseorang beriman kepada kemahabijaksanaan Allah dalam hukum kausalitas yang diciptan dan disyariatkan Allah swt. Sebaliknya Allah menimpakan kesesatan kepada seseorang yang menentang sunnat Allah dan mendurhakai Allah. Dengan mengetahui dan menyadari  sunnat Allah tersebut, tentu seseorang akan menempuh sunnat Allah dan mematuhi segala perintah Allah swt. untuk mendapatkan petunjuk dan kemudahan dari-Nya[25].
Dari beberapa penjelasan di atas, tampak bahwa pendekatan yang digunakan dalam memahami ayat-ayat yang terkait dengan kehendak mutlak Tuhan dan hukum kausalitas adalah dengan cara kompromisasi, yaitu mengompromikan ayat-ayat yang terkait dengan kehendak mutlak Tuhan dengan ayat-ayat yang terkait dengan hukum kausalitas yang dilakukan manusia. Usaha mengkompromikan ayat-ayat tersebut menurut penulis termasuk dalam kaidah ta’wil, yang dalam aplikasinya disamping menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai penjelas, namun tidak lepas dari keterlibatan akal dalam mengkaji dan menganalisa bentuk dari kompromisasi tersebut. Menurut penulis, dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an tidak terlepas dari kaidah-kaidah ta’wil semacam di atas. Hal itu disebabkan oleh adanya sebagian besar ayat-ayat al-Qur’an yang redaksinya bersifat metaforis (majazy). Unsur-unsur yang terkait dengan redaksi metaforis tersebut tidak-lah dapat dipahami oleh seeorang yang tidak memiliki intelektualitas yang  memadai. Hal itu disebabkan makna metaforis dipakai bukan pada makna yang diperuntukkan baginya (bukan makna asli), karena adanya hubungan (‘alaqah) diikuti dengan tanda-tanda yang mencegah penggunaan makna asli tersebut[26].


III.  SIMPULAN
Allah menurunkan al-Qur’an yang diantaranya adalah terdapat ayat-ayat muhkamat yaitu ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dan  ayat-ayat mutashabihat , yaitu ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan sulit dipahami oleh manusia biasa. Jika dipahami dari beberapa penjelasan terkait dengan kajian tafsir dan ta’wil di atas, maka tampak bahwa kaidah-kaidah dalam tafsir adalah kaidah-kaidah yang terkait dengan semua persoalan ayat-ayat muhkamat. adapun kaidah-kaidah dalam ta’wil adalah kebalikan dari kaidah tafsir, yaitu kaidah-kaidah yang terkait dengan persoalan ayat-ayat mutashabihat. Wa Allah A’lam bi al-Sawab.




BIBLIOGRAFI

Abdul Mu’in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, Cet.3, 2010
Ahmad Hashimi, Jawahir al-Balaghah , Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir , Jakarta: AMZAH, Cet 1, 2010.
Fahd Bin ‘Abd al-Rahman Bin Sulaiman al-Rumy, Buhuth Fi Usul al-Tafsir wa Manahijuhu , ttp, Maktabah al-Taubah, tt.
Husain Bin ‘Aly Bin Husain al-Haraby, Qawa’id al-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin, Riyad, Dar al-Qasim, Cet 1, 1996.
Hafny Muhammad Sharaf, ‘I’jaz al-Qur’an al-Bayany Baina al-Nazariyyah wa al-Tatbiq , ttp: al-Majlis al-A’la lisshuun al-Islamiyyah, Kitab ke 4, 1970.
Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman Bin Abi Bakr al-SuyutI, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an , Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Cet 1, 1425.
Muhammad Husain al-Dhahaby, ‘Ilm al-Taafsir , ttp. Dar al-Ma’arif, tt
Salah ‘Abdu al-Fattah al-Khalidy, al-Tafsir al-Maudu’i Baina al-Nazariyah wa al-Tatbiq , ttp: Dar al-Nafa’is, tt.




[1]Lafz}u al-Mushkil adalah kata yang bentuknya sendiri tidak menunjuk kepada makna yang dikehendaki, tetapi harus ada qarinah luar yang menjelaskan apa yang dimaksud. Misalnya firman Allah: والمطلقات يتربصن بأنفسهمن ثلاثة قروء . Abdul Mu’in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, Cet.3, 2010), 131
[2]Salah ‘Abdu al-Fattah al-Khalidy, al-Tafsir al-Maud}u’i Baina al-Nazariyah wa al-Tatbiq (ttp: Dar al-Nafa’is, tt), 11
[3]Fahd Bin ‘Abd al-Rahman Bin Sulaiman al-Rumy, Buhuth Fi Usul al-Tafsir wa Manahijuhu (ttp, Maktabah al-Taubah, tt), 8
[4]Termasuk perangkat yang menyertai tarkib meliputi bahasa arab berserta perangkatnya, balaghah dan perangkatnya., Ibid. 8
[5]Muhammad H}usain al-Dhahaby, ‘Ilm al-Taafsir (ttp. Dar al-Ma’arif, tt), 6
[6]Ibid.7
[7]Ibid.7
[8] Ibid.8
[9]Ibid. 8
[10]Usaha men-tarjih dikelompokkan pada kategori ta’wil, karena dalam proses pe-tarjih-an dibutuhkan perangkat-perangkat intelektual sebagai barometer keobjektifan dari suatu penafsiran dengan penggunaan  daya akal yang tajam (al-‘Aql al-Salim) .
[11]Husain Bin ‘Aly Bin Husain al-Haraby, Qawa’id al-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin (Riyad}, Dar al-Qasim, Cet 1, 1996), 36
[12]Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah), 127
[13]Al-Qur’an, 16 (al-Nahl), 26
[14]Husain Bin ‘Aly Bin Husain al-Haraby, Qawa’id al-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin. 37
[15]Artinya: Sesungguhnya kami menurunkannya berupa al-Qur’a>n berbahasa arab, agar kamu mengerrti (QS. Yusuf): 2
[16]Al-Qur’a>n, 82 (al-Infit}a>r), 18
[17]Abd. Rahman Dahla>n, Kaidah-Kaidah Tafsi>r (Jakarta: AMZAH, Cet 1, 2010), 55
[18]Al-Qur’an, 4 (al-Nisa’), 36
[19]Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir, 56
[20]Ibid, 57
[21]Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman Bin Abi Bakr al-Suyut}I, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Cet 1, 1425), 311
[22]Hafny Muhammad Sharaf, ‘I’jaz al-Qur’an al-Bayany Baina al-Nazariyyah wa al-Tatbiq (ttp: al-Majlis al-A’la lisshuun al-Islamiyyah, Kitab ke 4, 1970), 234
[23]Al-Qur’an, 7 (al-A’raf), 178
[24]Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir, 225-227
[25]Ibid. 227
[26]Ahmad Hashimi, Jawahir al-Balaghah (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), 290

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More