Pendahuluan
Paul Ricoeur merupakan anak yatim setelah
ditinggal ayahnya pada usia 2 tahun. Dia dilahirkan pada tahun 1913 di Valence,
Prancis. Dia berasal dari keluarga kristen Protestan yang saleh mengamalkan
segala aktivitas keagamaan sehingga keluarga ini desebut salah satu seorang
cendekiawan Protestan yang terkemuka pada saat itu. Setelah ditinggal oleh
ayahnya Paul dibesarkan oleh kakek dan bibinya di Rennes. Di Lycee dia
berkenalan dengan Dalbies, seorang filsuf yang beraliran Thomistis, yang
berhasil dengan mengadakan studi tentang psikoanalisa Freud. [1]
Paul
berhasil meraih gelar doktornya di Universitas Strausbourg tahun 1950. Paul
merupakan tipe orang yang suka membaca banyak buku sehingga tak heran pandangannya
sangat luas dalam berbagai bidang. Ia mendapat gelar Profesor dari Universitas
Sorbonne pada 1959. Pada tahun 1968, berkat keahliannya di bidang teologi ia
dianugerahi gelar doktor teologi honoris dari Universitas Katolik Nijmegen,
Belanda. Karya-karyanya yang paling banyak dibaca seperti The Rule of Metaphor,
From Text to Action, dan Oneself As Another. Selain itu ia juga menerbitkan
tiga serial Time and Narrative, Hermeneutics and the Human Sciences, Conflict
of Interpretations, The Symbolism of Evil, Freud and Philosophy, and Freedom
and Nature: The Voluntary and the Involuntary.
Paul
Ricouer memiliki beberapa sumbangan khas dalam proyek filsafatnya. Diantarannya
adalah pemikirannya mengenai hermeneutika yang dianggap filsosof yang
dianugerahi banyak penghargaan ini sebagai usaha penafsiran yang dilakukan
manusia dengan kemampuannya untuk menerobos jarak budaya di mana seseorang akan
sampai pada konteks historis sesuatu yang ditafsirinya. Proses tersebut menurut
Paul memakai pendekatan bahasa semantik dengan metode fenomenologi.
Hermeneutika Paul Ricouer menyangkut teori-teori tentang manusia dan Tuhan
dalam pendekatan strukturalisme, psikoanalisis, fenomenologi, simbol, agama,
dan iman.
Pengertian Hermeneutika
Paul
Ricoeur mendifinisikan hermeneutika adalah sebuah teori tentang peraturan yang
menentukan seuatu eksegesis, interpretasi suatu bagian teks atau kumpulan tanda
yang dapat diangkap sebagian sebuah teks. Hermeneutika adalah sebuah proses
penguraian yang bertolak dari isi dan makna yang tersebunyi. Obyek interpretasi
adalah teks dalam pengertian luas, yang mencakup simbol-simbol mimpi, mitos dan
simbol masyarakat atau literatur.[2]
Ricoeur
melihat bahwa metode filsafat reffleksif mencapai batasnya begitu menyadari
isolasi stuktur pikiran abstrak. Kenyataan bahwa ia harus menjawab secara
konkret: apa artinya, menjadi insani, menuntut penggunaan pangkal tolak kediua,
yakni hermeneutika. Hermeneutika adalah peralihan antara refleksi abstrak dan
refleksi konkret.
Menurut
Ricoeur fakta atau produk itu dibaca
sebagai suatu naskah. Pemahaman seperti itu terjadi, jikalau misalnya ada
pemahaman mengenai :
·
Bahasa bukan sekedar
sebagai bunyi-bunyian, tetapi sebagai komunikasi.
·
Tarian tidak hanya sebagai
gerak yang bersifat biotik, tetapi sebagai bagian dalam upacara ritual.
·
Kurban tidak hanya sebagai
pembakaran benda, atau penyembelihan binatang, tetapi sebagai tanda penyerahan.[3]
Bagi
Ricoeur hidup ini merupakan interpretasi, terutama jika terdapat pluralitas
makna, disaat itulah interpretasi dibutuhkan. Apalagi jika simbol-simbol
dilibatkan, interpretasi menjadi penting, sebab disini terdapat makna yang
mempunyai multi-lapisan.
Kedudukan penafsir menurut
Ricoeur harus mengambil jarak dengan obyek yang kita teliti supaya ia dapat
membuat interpretasi dengan baik. Ricoeur sadar bahwa setiap manusia pasti
dalam benaknya sudah membawa anggapan-anggapan atau gagasan-gagasan, oleh karenanya
kita sama sekali tidak dapat menghindari diri dari prasangka. Dibalik itu pula
Ricoeur sadar bahwa anggapan-anggapan dan gagasan-gagasan yang terdapat pada
para penafsir itu turut mempengaruhi dalam mereka dalam memberi kritik.[4] dan
tugas dari seorang penafsir adalah menguraikan keseluruhan rantai kehidupan dan
sejarah yang bersifat laten di dalam bahasa atau teks.[5]
Menurut
Ricoeur tugas dari Hermeneutik adalah disatu pihak mencari dinamika internal
yang mengatur struktural kerja didalam teks, dilain pihak mencari daya yang
dimikili kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan
“hal”-nya teks itu muncul ke permukaan.
Teks membuka kesempatan bagi pemahaman dan menawarkan kemungkinan nyata untuk
memperluas cakrawala seseorang ke dalam kemungkinan-kemungkinan dan cara-cara
yang tidak disangka.[6]
Peran
bahasa dalam interpretasi sangatlah penting, karena pengungkapan gagasan,
emosi, kesusastraan dan filsafat semua melalui bahasa, bahkan Ricoeur
berpendapat bahwa manusia adalah bahasa dan bahasa merupakan syarat utama bagi
semua pengalaman manusia.
Ricoeur berpendapat bahwa setiap teks yang hadir dihadapan kita selalu
berhubungan dengan masyarakat, tradisi maupun aliran yang hidup dari
macam-macam gagasan.
Dalam
melakukan interpretasi, menurut Ricoeur, terdapat dua kegiatan yaitu kegiatan
Dekontekstualisasi (proses ‘pembebasan’ diri dari konteks) dan kegiatan
Rekontekstualisasi (proses masuk kembali ke dalam konteks). Dari penjelasan ini
maka telihat bahwa tugas dari penafsir sangat berat, karena ia harus dapat
membaca “dari dalam” teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks tersebut
dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan dan
sejarahnya sendiri. Maka untuk dapat berhasil dalam usahanya, ia harus dapat
menyingkirkan distansi yang asing, harus dapat mengatasi situasi dikotomis,
serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek-aspek subyektif
dan obyektif. Penafsir pada suatu saat harus dapat membuka diri terhadap teks
yang hadir dihadapannya. Membuka diri disini maksudnya adalah mengizinkan teks
memberikan kepercayaan kepada diri kita dengan cara yang obyektif. Maksudnya
adalah proses meringankan dan mempermudah isi teks dengan cara menghayatinya. Setiap teks mempunyai
3 macam otonomi, yaitu, intensi atau
maksud pengarang, situasi kultural
dan kondisi sosial pengadaan teks,
serta untuk siapa teks itu dimaksudkan.
Kata simbol yang berasaldari kata
Yunani ”Sumballo” berarti menghubungkan menggabungkan. Apabila logiga simbolik,
ilmu pasti dan psikologi klasik menyamaratakan tanda dengan simbol maka F. De
Saussure, Ricoeur membedakan pula arti simbol dari tanda. Tanda merupakan
kesatuan linguistikal dari yang mengerti (singnificatum).
Hubungan antara significans dan significatum bersifat kebetulan,
simetrik, univokal, konvensional, terbatas. Significans
dan significatum saling mengisi. Significatum tidak menerima artinya dari
significans. Daya menandai suatu
tanda adalah fungsionalistik, diterima dari kedudukannya dalam sistem ata
keseluruhan, stuktur.[7]
Ricoeur
menyatakan bahwa kata-kata juga merupakan simbol, karena
menggambarkan makna lain yang sifatnya tidak langsung, tidak begitu penting dan
berupa kiasan (figurative), serta hanya dimengerti melalui simbol-simbol
tersebut. Kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Karenanya,
terdapat kebutuhan laten dalam
bahasa untuk mengungkapkan konsep-konsep melalui kata-kata. Kebutuhan laten
tersebut adalah kebutuhan akan hermeneutika. Hermeneutika bertujuan untuk
menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol, dengan cara
membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol-simbol
tersebut.
Bagi Ricoeur, simbol yang memiliki tiga dimensi, yakni cosmic,
oneiric dan poetic, merupakan konstruksi segala pengertian yang di
dalamnya makna literal, pertama dan langsung menunjuk pada makna kedua yang
metaforis dan tidak langsung, yang hanya bisa dicapai melalui makna pertama.
Makna pertama yang tampak dan literal tidaklah sesat, tetapi ia menjadi
satu-satunya perantara untuk mencapai makna batin. Atas dasar itu, maka target
dan tujuan penafsiran bukanlah memecahkan symbol, akan tetapi bermula darinya.
Dalam
hal ini, Ricoeur membedakan dua symbol yang menjadi kajian hermeneutika. Pertama,
simbol univocal, yaitu
tanda dengan satu makna yang ditandai, seperti simbol-simbol dalam logika simbol. Kedua, symbol equivocal adalah tanda
dengan makna ganda. Yang kedua inilah yang tentu menjadi garapan atau fokus sebenarnya dari hermeneutika, karena
hermeneutika memang harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki makna
ganda (multiple-meaning).
Meski kata juga
merupakan simbol yang harus disingkap maknanya, keseluruhan konsep-konsep
mengenai simbol dan kata-kata tidak
perlu tampil seakan-akan penuh dengan misteri. Setiap kata pada dasarnya
bersifat konvensional dan tidak membawa maknanya sendiri secara langsung bagi
pembaca atau pendengarnya, kecuali kata-kata onomatopoik. Dalam hal ini, orang yang berbicara membentuk
pola-pola makna secara tidak sadar dalam kata-kata yang dikeluarkannya. Sebuah
kata bisa memiliki konotasi yang berbeda, tergantung pada pembicaranya. Meski
benar bahwa makna kata dapat diturunkan dari konteks yang terdapat dalam sebuah
kalimat, namun kritik juga bisa beragam menurut zamannya. Kata dan terma bisa
memiliki makna ganda, selaras dengan tradisi dan budaya di mana kata dan terma
tersebut diucapkan atau dituliskan. Keragaman makna yang terkandung dalam
sebuah kata atau teks bila dikaitkan dengan konteksnya inilah yang dimaksudkan
dengan ungkapan bahwa kata atau teks memiliki karakteristik “polisemi”, yaitu
ciri khas yang menyebabkan kata-kata mempunyai makna lebih dari satu bila
digunakan dalam konteks yang berbeda.
Ø Kesimpulan
Bagi Paul
Ricoeur kenyataan selalu tidak akan pernah lepas dari simbol-simbol yang harus
di tafsirkan. Seperti halnya bahasa yang diterjemahkan dalam kata-kata, itu
semua harus diterjemahkan agar manusia menemukan makna sesungguhnya. Ricoeur
menjelaskan tentang simbol-simbol dengan menggunakan simbol kejahatan dan juga
menerangkan asal-usul dari kejahatan itu dengan menggunakan mitos-mitos. Dari
sini Ia menerangkan tentang betapa pentingnya memperhatikan simbol-simbol yang
hidup dalam masyarakat.
Dari penjelasan diatas kita dapat melihat bahwa
penafsir dihadapkan pada tugas yang berat, karena ia harus menghadapi dua
situasi yang sangat berbeda dalam satu waktu, dimana disatu sisi ia harus dapat
menjaga jarak dengan teks yang hadir dihadapannya, sekaligus ia juga harus
dapat membuka diri agar dapat menghayati teks tersebut secara menyeluruh dengan
tidak lupa memperhatikan latar belakang kehadiran teks tersebut. Disadari pula
oleh Ricoeur bahwa setiap penafsir sudah mempunyai angapan atau gagasan yang
melekat pada diri mereka, dan itu semua turut mewarnai hasil interpretasi yang
dihadirkan oleh setiap penafsir.
Daftar Pustaka
1.
Bertens ,Kees.”Filsafat Barat
Kontemporer Prancis”. (Jakarta:
PT.Gramedia, . 2001)
2.
Bakker, Anton, Achmad
Charris Zubair. ”Metode Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Cet. 6. 1998)
3.
Poespoprodjo,
“Hermennutika” (Bandung : CV Pustaka Setia 2004)
4.
Sumaryono, E.”Hermeneutik :
Sebuah Metode Filsafat”. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1999.)
5.
Nafisul
Atho dan Arif Fahrudin. Hermeneutika Transendental,
(Yogyakarta: IRCISoD. 2003,)
2003) hal. 21
(Yogyakarta:
Penerbit Kanisius. Cet.6. 1998.) hal 46
[4] Sumaryono, E..”Hermeneutik : Sebuah Metode
Filsafat”. ( Yogyakarta:
Penerbit Kanisius. 1999) hal. 106-107
0 komentar:
Posting Komentar