Jumat, 03 Januari 2014

Biografi Singkat Paul Ricoeur dan Pemikirannya


  Pendahuluan

Paul Ricoeur merupakan anak yatim setelah ditinggal ayahnya pada usia 2 tahun. Dia dilahirkan pada tahun 1913 di Valence, Prancis. Dia berasal dari keluarga kristen Protestan yang saleh mengamalkan segala aktivitas keagamaan sehingga keluarga ini desebut salah satu seorang cendekiawan Protestan yang terkemuka pada saat itu. Setelah ditinggal oleh ayahnya Paul dibesarkan oleh kakek dan bibinya di Rennes. Di Lycee dia berkenalan dengan Dalbies, seorang filsuf yang beraliran Thomistis, yang berhasil dengan mengadakan studi tentang psikoanalisa Freud. [1]
            Paul berhasil meraih gelar doktornya di Universitas Strausbourg tahun 1950. Paul merupakan tipe orang yang suka membaca banyak buku sehingga tak heran pandangannya sangat luas dalam berbagai bidang. Ia mendapat gelar Profesor dari Universitas Sorbonne pada 1959. Pada tahun 1968, berkat keahliannya di bidang teologi ia dianugerahi gelar doktor teologi honoris dari Universitas Katolik Nijmegen, Belanda. Karya-karyanya yang paling banyak dibaca seperti The Rule of Metaphor, From Text to Action, dan Oneself As Another. Selain itu ia juga menerbitkan tiga serial Time and Narrative, Hermeneutics and the Human Sciences, Conflict of Interpretations, The Symbolism of Evil, Freud and Philosophy, and Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary.
Paul Ricouer memiliki beberapa sumbangan khas dalam proyek filsafatnya. Diantarannya adalah pemikirannya mengenai hermeneutika yang dianggap filsosof yang dianugerahi banyak penghargaan ini sebagai usaha penafsiran yang dilakukan manusia dengan kemampuannya untuk menerobos jarak budaya di mana seseorang akan sampai pada konteks historis sesuatu yang ditafsirinya. Proses tersebut menurut Paul memakai pendekatan bahasa semantik dengan metode fenomenologi. Hermeneutika Paul Ricouer menyangkut teori-teori tentang manusia dan Tuhan dalam pendekatan strukturalisme, psikoanalisis, fenomenologi, simbol, agama, dan iman. 
Pengertian Hermeneutika
Paul Ricoeur mendifinisikan hermeneutika adalah sebuah teori tentang peraturan yang menentukan seuatu eksegesis, interpretasi suatu bagian teks atau kumpulan tanda yang dapat diangkap sebagian sebuah teks. Hermeneutika adalah sebuah proses penguraian yang bertolak dari isi dan makna yang tersebunyi. Obyek interpretasi adalah teks dalam pengertian luas, yang mencakup simbol-simbol mimpi, mitos dan simbol masyarakat atau literatur.[2]
Ricoeur melihat bahwa metode filsafat reffleksif mencapai batasnya begitu menyadari isolasi stuktur pikiran abstrak. Kenyataan bahwa ia harus menjawab secara konkret: apa artinya, menjadi insani, menuntut penggunaan pangkal tolak kediua, yakni hermeneutika. Hermeneutika adalah peralihan antara refleksi abstrak dan refleksi konkret.
Menurut  Ricoeur fakta atau produk itu dibaca sebagai suatu naskah. Pemahaman seperti itu terjadi, jikalau misalnya ada pemahaman mengenai :
·       Bahasa bukan sekedar sebagai bunyi-bunyian, tetapi sebagai komunikasi.
·       Tarian tidak hanya sebagai gerak yang bersifat biotik, tetapi sebagai bagian dalam upacara ritual.
·       Kurban tidak hanya sebagai pembakaran benda, atau penyembelihan binatang, tetapi sebagai tanda penyerahan.[3]
Bagi Ricoeur hidup ini merupakan interpretasi, terutama jika terdapat pluralitas makna, disaat itulah interpretasi dibutuhkan. Apalagi jika simbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi penting, sebab disini terdapat makna yang mempunyai multi-lapisan.
Kedudukan penafsir menurut Ricoeur harus mengambil jarak dengan obyek yang kita teliti supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik. Ricoeur sadar bahwa setiap manusia pasti dalam benaknya sudah membawa anggapan-anggapan atau gagasan-gagasan, oleh karenanya kita sama sekali tidak dapat menghindari diri dari prasangka. Dibalik itu pula Ricoeur sadar bahwa anggapan-anggapan dan gagasan-gagasan yang terdapat pada para penafsir itu turut mempengaruhi dalam mereka dalam memberi kritik.[4] dan tugas dari seorang penafsir adalah menguraikan keseluruhan rantai kehidupan dan sejarah yang bersifat laten di dalam bahasa atau teks.[5]
Menurut Ricoeur tugas dari Hermeneutik adalah disatu pihak mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja didalam teks, dilain pihak mencari daya yang dimikili kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan “hal”-nya teks itu muncul ke permukaan. Teks membuka kesempatan bagi pemahaman dan menawarkan kemungkinan nyata untuk memperluas cakrawala seseorang ke dalam kemungkinan-kemungkinan dan cara-cara yang tidak disangka.[6]
Peran bahasa dalam interpretasi sangatlah penting, karena pengungkapan gagasan, emosi, kesusastraan dan filsafat semua melalui bahasa, bahkan Ricoeur berpendapat bahwa manusia adalah bahasa dan bahasa merupakan syarat utama bagi semua pengalaman manusia. Ricoeur berpendapat bahwa setiap teks yang hadir dihadapan kita selalu berhubungan dengan masyarakat, tradisi maupun aliran yang hidup dari macam-macam gagasan.
Dalam melakukan interpretasi, menurut Ricoeur, terdapat dua kegiatan yaitu kegiatan Dekontekstualisasi (proses ‘pembebasan’ diri dari konteks) dan kegiatan Rekontekstualisasi (proses masuk kembali ke dalam konteks). Dari penjelasan ini maka telihat bahwa tugas dari penafsir sangat berat, karena ia harus dapat membaca “dari dalam” teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Maka untuk dapat berhasil dalam usahanya, ia harus dapat menyingkirkan distansi yang asing, harus dapat mengatasi situasi dikotomis, serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek-aspek subyektif dan obyektif. Penafsir pada suatu saat harus dapat membuka diri terhadap teks yang hadir dihadapannya. Membuka diri disini maksudnya adalah mengizinkan teks memberikan kepercayaan kepada diri kita dengan cara yang obyektif. Maksudnya adalah proses meringankan dan mempermudah isi teks dengan cara menghayatinya. Setiap teks mempunyai 3 macam otonomi, yaitu, intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, serta untuk siapa teks itu dimaksudkan.
Kata simbol yang berasaldari kata Yunani ”Sumballo” berarti menghubungkan menggabungkan. Apabila logiga simbolik, ilmu pasti dan psikologi klasik menyamaratakan tanda dengan simbol maka F. De Saussure, Ricoeur membedakan pula arti simbol dari tanda. Tanda merupakan kesatuan linguistikal dari yang mengerti (singnificatum). Hubungan antara significans dan significatum bersifat kebetulan, simetrik, univokal, konvensional, terbatas. Significans dan significatum saling mengisi. Significatum tidak menerima artinya dari significans. Daya menandai suatu tanda adalah fungsionalistik, diterima dari kedudukannya dalam sistem ata keseluruhan, stuktur.[7]
 Ricoeur menyatakan bahwa kata-kata juga merupakan simbol, karena menggambarkan makna lain yang sifatnya tidak langsung, tidak begitu penting dan berupa kiasan (figurative), serta hanya dimengerti melalui simbol-simbol tersebut. Kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Karenanya, terdapat kebutuhan laten dalam bahasa untuk mengungkapkan konsep-konsep melalui kata-kata. Kebutuhan laten tersebut adalah kebutuhan akan hermeneutika. Hermeneutika bertujuan untuk menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol, dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol-simbol tersebut.
Bagi Ricoeur, simbol yang memiliki tiga dimensi, yakni cosmic, oneiric dan poetic, merupakan konstruksi segala pengertian yang di dalamnya makna literal, pertama dan langsung menunjuk pada makna kedua yang metaforis dan tidak langsung, yang hanya bisa dicapai melalui makna pertama. Makna pertama yang tampak dan literal tidaklah sesat, tetapi ia menjadi satu-satunya perantara untuk mencapai makna batin. Atas dasar itu, maka target dan tujuan penafsiran bukanlah memecahkan symbol, akan tetapi bermula darinya.
            Dalam hal ini, Ricoeur membedakan dua symbol yang menjadi kajian hermeneutika. Pertama, simbol univocal, yaitu tanda dengan satu makna yang ditandai, seperti simbol-simbol dalam logika simbol. Kedua, symbol equivocal adalah tanda dengan makna ganda. Yang kedua inilah yang tentu menjadi garapan atau fokus sebenarnya dari hermeneutika, karena hermeneutika memang harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki makna ganda (multiple-meaning).
Meski kata juga merupakan simbol yang harus disingkap maknanya, keseluruhan konsep-konsep mengenai simbol dan kata-kata tidak perlu tampil seakan-akan penuh dengan misteri. Setiap kata pada dasarnya bersifat konvensional dan tidak membawa maknanya sendiri secara langsung bagi pembaca atau pendengarnya, kecuali kata-kata onomatopoik. Dalam hal ini, orang yang berbicara membentuk pola-pola makna secara tidak sadar dalam kata-kata yang dikeluarkannya. Sebuah kata bisa memiliki konotasi yang berbeda, tergantung pada pembicaranya. Meski benar bahwa makna kata dapat diturunkan dari konteks yang terdapat dalam sebuah kalimat, namun kritik juga bisa beragam menurut zamannya. Kata dan terma bisa memiliki makna ganda, selaras dengan tradisi dan budaya di mana kata dan terma tersebut diucapkan atau dituliskan. Keragaman makna yang terkandung dalam sebuah kata atau teks bila dikaitkan dengan konteksnya inilah yang dimaksudkan dengan ungkapan bahwa kata atau teks memiliki karakteristik “polisemi”, yaitu ciri khas yang menyebabkan kata-kata mempunyai makna lebih dari satu bila digunakan dalam konteks yang berbeda.

Ø  Kesimpulan

Bagi Paul Ricoeur kenyataan selalu tidak akan pernah lepas dari simbol-simbol yang harus di tafsirkan. Seperti halnya bahasa yang diterjemahkan dalam kata-kata, itu semua harus diterjemahkan agar manusia menemukan makna sesungguhnya. Ricoeur menjelaskan tentang simbol-simbol dengan menggunakan simbol kejahatan dan juga menerangkan asal-usul dari kejahatan itu dengan menggunakan mitos-mitos. Dari sini Ia menerangkan tentang betapa pentingnya memperhatikan simbol-simbol yang hidup dalam masyarakat.
Dari penjelasan diatas kita dapat melihat bahwa penafsir dihadapkan pada tugas yang berat, karena ia harus menghadapi dua situasi yang sangat berbeda dalam satu waktu, dimana disatu sisi ia harus dapat menjaga jarak dengan teks yang hadir dihadapannya, sekaligus ia juga harus dapat membuka diri agar dapat menghayati teks tersebut secara menyeluruh dengan tidak lupa memperhatikan latar belakang kehadiran teks tersebut. Disadari pula oleh Ricoeur bahwa setiap penafsir sudah mempunyai angapan atau gagasan yang melekat pada diri mereka, dan itu semua turut mewarnai hasil interpretasi yang dihadirkan oleh setiap penafsir.

  
Daftar Pustaka
1.      Bertens ,Kees.”Filsafat Barat Kontemporer Prancis”. (Jakarta: PT.Gramedia, . 2001)
2.      Bakker, Anton, Achmad Charris Zubair. ”Metode Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Cet. 6. 1998)
3.      Poespoprodjo, “Hermennutika” (Bandung : CV Pustaka Setia 2004)
4.      Sumaryono, E.”Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat”. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1999.)
5.      Nafisul Atho dan Arif Fahrudin. Hermeneutika Transendental,
(Yogyakarta: IRCISoD. 2003,)



  


[1] Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Cet II, 1996) hal. 254
[2] Nafisul Atok dan Arif, Hermeneutika Transendental (Yogjakarta, IRCISoD.
2003) hal. 21
[3] Bakker, Anton, Achmad Charris Zubair. ”Metode Penelitian Filsafat”.
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Cet.6. 1998.) hal 46

[4] Sumaryono, E..”Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat”. ( Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1999) hal. 106-107
[5] Ibid, 108
[6] Poespoprodjo,. “Hermennutika” (Bandung : CV Pustaka Setia 2004). Hal 124
[7]  Ibid, hal 117

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More