Jumat, 03 Januari 2014

Filsafat Politik



A.    Pendahuluan
Filsafat politik adalah ”kegiatan yang kompleks yang hanya dapat dipahami dengan baik melalui analisis terhadap banyak sekali cara yang dilakukan oleh mereka yang telah mengembangkannya” (Wolin 2004: 3).
Pada titik itulah pertanyaan filsafat politik dimulai. Dengan rasionalitasnya manusia mencoba mempertanyakan apa hakikat dari organisasi masyarakat yang baik (good) dan tepat (right) atau “bagaimana cara hidup yang terbaik dan paling tepat bagi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok”. Pandangan semacam ini memang merujuk pada pengertian modern atau kontemporer tentang filsafat politik, sebuah tradisi yang berbeda dengan tradisi filsafat politik pada masa klasik dan abad pertengahan, dan mengesampingkan pengaruh filsafat bahasa dan filsafat analitik yang merupakan tradisi tersendiri.[1]
Namun, ada pengertian lain yang lebih fundamental tentang keterkaitan yang erat antara filsafat politik dengan filsafat pada umumnya. Filsafat dipahami sebagai usaha mengejar kebenaran hingga ke akar-akarnya, meskipun kualitas esensial tentang apa yang ”politis” (political) mulai mendapat perhatian di kalangan para ahli teori politik dan pokok masalah (subject matter) filsafat politik mulai terbentuk dengan menentukan keterkaitannya dengan apa yang dianggap ”publik” (Wolin, 2004: 4). Akan tetapi, karena filsafat digambarkan sebagai usaha sistematis untuk memahami prinsip yang mendasari semua hal, penyelidikan tentang apa yang ’politis’ (political) dianggap harus membentuk bagian dari usaha berfilsafat secara umum (McBride, 1994: 1). Cicero menunjukkan pokok perhatian filsafat politik ketika menyebut Commonwealth sebagai ”res publica”, yang artinya ’benda publik’ (public thing), atau ’milik rakyat’ (property of a people). Dengan ini, tatanan politik (political arrangement) dipahami sebagai sesuatu yang unik, yang berhubungan dengan sesuatu yang umum (common) dalam masyarakat. Satu-satunya institusi yang menyaingi otoritas tatanan politik ini adalah Gereja abad pertengahan, meskipun hal ini terjadi karena Gereja, dalam mengontrol ciri-ciri regim politik, telah menjadi sesuatu yang berbeda dengan badan keagamaan.
Karena itu, filsafat politik dapat dilihat sebagai usaha para filsuf dalam memberikan panduan dan jawaban untuk menanggapi masalah yang menjadi perhatian masyarakat secara keseluruhan, yaitu masalah publik atau politik. Dalam bahasa Robert N. Beck filsafat sosial (atau politik) adalah ”kritik kefilsafatan terhadap prinsip-prinsip yang mendasari proses sosial (atau politik) dengan cara mengembangkan argumen yang dapat membenarkan institusi-institusi sosial dan politik, baik sebagaimana adanya (as they actually are), atau sebagaimana yang dibayangkan (as they imagined)” (Beck, 1967: 3). Saya berpendapat bahwa filsafat politik sebaiknya memang dikembangkan sebagai studi tentang penilaian dan kritik moral terhadap proses yang melandasi kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang diarahkan pada penciptaan susunan organisasi masyarakat yang baik dan tepat. Ada dua keunggulan yang terdapat dalam rumusan demikian itu: di satu pihak, karena ia menggarisbawahi, dan menurut saya beralasan, bahwa ada hubungan yang erat antara filsafat politik dengan praktek aktual, dan di pihak lain, karena ia mengakui bahwa filsafat politik bukan sekedar hasil refleksi pasif atau citra bayangan (mirror images) tentang masyarakat. Sebab, jauh sebelum manusia mulai berefleksi atau berfilsafat tentang masyarakat, institusi politik dan struktur sosial sudah ada lebih dahulu sehingga ”batas dan substansi dari subject matter filsafat politik sebagian besar ditentukan oleh praktek-praktek yang sudah ada dalam masyarakat” (Wolin, 2004:7). Akan tetapi, sebagian besar temuan penting dalam studi filsafat politik juga terjadi dalam masa krisis, yaitu sebuah masa ketika kerusakan institusional melepaskan fenomena politik menjadi tidak lagi terintegrasi secara efektif, sehingga ”filsafat politik selalu mengandung aspek aktif dan kreatif, yang terpisah atau berbeda dengan keadaan yang sedang berlaku, dan secara demikian juga mengimplikasikan kritik terhadap keadaan yang ada sekarang” (McBride, 1994: 3)
Filsafat politik juga memiliki sejumlah karakteristik yang lain. Salah satu yang utama adalah studi filsafat politik pada dasarnya merupakan cabang dari filsafat praktis (practical philosophy), yaitu cabang filsafat yang, terkait erat dengan etika atau filsafat moral, menangani pertanyaan moral dari kehidupan publik. Para ahli mengakui adanya kontinuitas yang fundamental antara moralitas dan filsafat politik. Robert Nozick, misalnya, mengatakan bahwa “filsafat moral menentukan latar-belakang dan batas bagi filsafat politik“[2]. Namun, ada pandangan yang berbeda di antara para filsuf politik menyangkut pembagian bidang moralitas dan filsafat politik dan tentang kriteria untuk argumen yang dianggap paling berhasil (Kymlicka, 1990, p. 6). Filsafat politik berbeda dengan etika: etika berhubungan dengan dimensi moral pribadi, misalnya bagaimana seseorang seharusnya hidup, nilai atau gagasan ideal apa yang seharusnya dipegang dan aturan hidup macam apa yang hendaknya diperhatikan. Karena itu, sebagai cabang filsafat praktis, filsafat politik berhubungan dengan sisi atau aspek sosial dari etika atau lebih tepat berhubungan dengan pertanyaan tentang bagaimana pengaturan dan pengorganisasian kehidupan masyarakat yang seharusnya (Brown, 1986, p. 11).
Namun, perbedaan antara moralitas pribadi (privat morality) dan filsafat politik yang menekankan etika bersama tidak mudah ditentukan. Aristoteles misalnya menyatakan dalam halaman pertama Politics-nya bahwa negarawan (politikos) tidak boleh dikacaukan dengan pemilik budak atau kepala rumah tangga: negawaran menyangkut sesuatu yang ’politis’, sedangkan pemilik budak atau kepala rumah tangga tidak bersangkut paut dengan yang ’politis’. Di sini, Aristoteles menyinggung kesulitan yang dialami para filsuf politik dalam memisahkan subject-matter yang dalam realitasnya tidak bisa dipisahkan. Kenyataannya, tanggungjawab moral yang ada pada seseorang kepada orang lain kadang menjadi sesuatu yang pribadi, hanya melibatkan peraturan perilaku personal, namun kadang juga menjadi masalah publik yaitu harus dipaksakan melalui lembaga-lembaga politik. Misalnya, ketika seorang wanita mengatakan bahwa ”yang pribadi adalah politis” (the personal is political), ia mulai menyadari bahwa apa yang dianggap sebagai masalah privat, domestik dan individual, dalam kenyataannya adalah publik dan struktural.[3] Jadi, salah satu persoalan yang dihadapi filsafat politik dalam hubungannya dengan etika nampaknya terkait dengan pertanyaan mana yang lebih penting antara moralitas pribadi dan moralitas publik dan juga tentang konflik yang dapat ditolerir dari nilai-nilai moral politik dan personal.
Karakteristik lain filsafat politik yang tak kalah penting adalah sebagai pengetahuan normatif, yaitu bahwa filsafat politik mencoba membentuk norma (aturan atau standar ideal), yang dapat dibedakan dari pengetahuan deskriptif, yaitu mencoba menguraikan bagaimana sesuatu secara apa adanya (Wolf, 2006: 2). Studi normatif mencari tahu bagaimana sesuatu seharusnya: apa yang benar, adil dan secara moral tepat, sementara studi politik deskriptif dilakukan oleh ilmuwan politik, sosiolog, dan ahli sejarah. Maka, meskipun filsuf politik memiliki perhatian yang sama seperti halnya ilmuwan politik yang mempertanyakan distribusi barang-barang dalam sebuah masyarakat, misalnya, seorang filsuf politik (berbeda dengan ilmuwan politik) akan memusatkan perhatiannya pada aturan atau prinsip apa yang menentukan distribusi barang-barang tersebut. Seorang filsuf politik tidak bertanya ’bagaimana properti didistribusikan’, tetapi ’distribusi properti semacam apa yang adil dan fair’, ia tidak bertanya ’hak dan kebebasan apa yang sesungguhnya dimiliki rakyat’ tetapi ’ hak dan kebebasan apa yang seharusnya dimiliki rakyat’. Tentu saja, pembagian antara studi normatif dan studi deskriptif tidak selalu sejelas seperti yang mungkin disangka karena masalah perilaku manusia seringkali berada di antara dua titik pembagian deskriptif dan normatif. 
Cara lain yang kadang dilakukan untuk lebih memahami subject matter filsafat politik adalah dengan membedakannya dari ilmu politik dan teori politik. Menurut Brown (1986, p.14), pokok perhatian ilmu politik adalah realitas atau peristiwa politik seperti perebutan kekuasaan, kecenderungan memilih, hubungan antara kelas sosial dalam masyarakat dengan partai politik dan teori yang menjelaskan realitas dari berbagai peristiwa politik itu. Sebagai pengetahuan deskriptif, ilmu politik, tidak berkepentingan dengan pertanyaan tentang nilai, yaitu pertanyaan benar dan salah dalam pengertian etis, jadi nilai dianggap sebagai sesuatu yang dapat diabaikan atau setidaknya hanya dilihat sebagai gagasan ideal. Akan tetapi, karena pertanyaan tentang nilai harus dipertimbangkan, maka diperlukan disiplin ilmu yang menangani pertanyaan ini. Disinilah teori politik dan filsafat politik muncul sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang dianggap relevan menangani pertanyaan tentang nilai, meskipun ada perbedaan diantara keduanya:
Teori politik, di satu pihak, merupakan kumpulan doktrin-doktrin tentang organisasi masyarakat politik yang diinginkan, seperti liberalisme, sosialisme atau anarkisme. Doktrin teori politik adalah deskripsi tentang kemungkinan bentuk masyarakat yang dianggap baik dan tepat dan didalamnya juga terkandung berbagai rencana dan program politik, dan karena itu sering diistilahkan sebagai ideologi.[4] Filsafat politik, di pihak lain, juga menaruh perhatian terhadap doktrin-doktrin politik, namun berbeda dengan teori politik, filsafat politik berkepentingan untuk memberikan landasan kefilsafatan terhadap doktrin-doktrin normatif tersebut. Asumsinya adalah bahwa teori politik (dan sebenarnya juga teori-teori ekonomi dan sosial) bisa saja tidak memiliki justifikasi rasional, atau hanya merupakan bentuk rasionalisasi praktek politik, ekonomi dan sosial yang dikembangkan berdasarkan kepercayaan semata melalui otoritas tertentu seperti agama. Karena itu, perhatian filsafat politik diarahkan pada usaha memberikan kritik atau justifikasi terhadap doktrin-doktrin atau teori-teori itu. Jadi, minat filsafat politik dapat dibedakan dari teori politik dalam hal bahwa ada kebutuhan untuk memberikan landasan rasional atas nilai-nilai, ideal-ideal dan prinsip-prinsip yang memberikan bentuk pada teori atau doktrin itu.

B.     Fasisme
            Fasisme (/ fæʃɪzəm /) adalah, gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Fasis berusaha untuk mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi. Mereka menganjurkan pembentukan partai tunggal negara totaliter yang berusaha mobilisasi massa suatu bangsa dan terciptanya "manusia baru" yang ideal untuk membentuk suatu elit pemerintahan melalui indoktrinasi, pendidikan fisik, dan eugenika kebijakan keluarga termasuk.
Fasis percaya bahwa bangsa memerlukan kepemimpinan yang kuat, identitas kolektif tunggal, dan akan dan kemampuan untuk melakukan kekerasan dan berperang untuk menjaga bangsa yang kuat. pemerintah Fasis melarang dan menekan oposisi terhadap negara. Fasisme didirikan oleh sindikalis nasional Italia dalam Perang Dunia I yang menggabungkan sayap kiri dan sayap kanan pandangan politik, tapi condong ke kanan di awal 1920-an. Para sarjana umumnya menganggap fasisme berada di paling kanan. Fasis meninggikan kekerasan, perang, dan militerisme sebagai memberikan perubahan positif dalam masyarakat, dalam memberikan renovasi spiritual, pendidikan, menanamkan sebuah keinginan untuk mendominasi dalam karakter orang, dan menciptakan persaudaraan nasional melalui dinas militer Fasis kekerasan melihat dan perang sebagai tindakan yang menciptakan regenerasi semangat, nasional dan vitalitas. Fasisme adalah anti-komunisme, anti-demokratis, anti-individualis, anti-liberal, anti-parlemen, anti-konservatif, anti-borjuis dan anti-proletar, dan dalam banyak kasus anti-kapitalis Fasisme. menolak konsep-konsep egalitarianisme, materialisme, dan rasionalisme yang mendukung tindakan, disiplin, hirarki, semangat, dan keinginan. Dalam ilmu ekonomi, fasis menentang liberalisme (sebagai gerakan borjuis) dan Marxisme (sebagai sebuah gerakan proletar) untuk menjadi eksklusif ekonomi berbasis kelas gerakan Fasis ini. ideologi mereka seperti yang dilakukan oleh gerakan ekonomi trans-kelas yang mempromosikan menyelesaikan konflik kelas ekonomi untuk mengamankan solidaritas nasional Mereka mendukung, diatur multi-kelas, sistem ekonomi nasional yang terintegrasi.
Fasisme adalah sebuah ideologi yang lahir dan berkembang pada abad ke-20. Fasisme menyebar dengan sangat pesat di seluruh dunia pada permulaan Perang Dunia I, dengan berkuasanya rezim fasis di Jerman dan Italia pada khususnya, namun juga di negara-negara seperti Yunani, Spanyol dan Jepang. Pemerintahan fasis adalah pemerintahan yang penuh dengan kekerasan karena itulah rakyat sangat menderita dengan cara-cara pemerintahan ideologi ini. Diktator fasis dan pemerintahannya tidak segan-segan untuk melakukan pemerintahan yang brutal, penuh dengan agresi dan pertumpahan darah serta kekerasan dan semua itu dijadikan sebuah hukum pada pemerintahannya. Pemerintahan fasis mengirimkan gelombang teror ke seluruh rakyat melalui polisi rahasia dan milisi fasis mereka. Pemerintahan bahkan diterapkan hampir di semua tingkat kemasyarakatan mulai dari pendidikan, budaya, agama, seni, sistem pemerintahan, militer dan organisasi-organisasi politik
Dari  urai diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa jika fasisme terjadi di Negara kita itu sangat berbahaya dalam  mensejahtrahkan bangsa ini, kerena dampaknya amat berbahaya dilihat dari keadaan bangsa kita yang multicultural budaya, ras, suku dan lain sebagainya. Jika itu terjadi maka aka nada penindasan terhadap yang lemah.
Sedangkan tujuan dari politik yang paling hakiki adalah menciptakan kesejahtaraan bagi masyarakat, bangsa dan Negara. Bukan kekuasan yang dipertahankan dan redekalisme yang dikembangkan. Kesejahtaraan masyarakat merupakan tujuan utama dari politik itu sendiri.























Daftar  pustaka.
Robert Nozick, Anarchy, State and Utopia (Basic Books, New York) 1974
Alan Brown, Modern Political Philosophy (Penguin Books, Middlesex) 1986
Robert E. Goodin and Philip Pettit Eds. Companion to Contemporary Political Philosophy,  (Blackwell, Victoria), 2004
 Goodin, Robert E. and Philip Pettit Anarkhism, Conservatism, Feminism, Liberalism, Marxisme, dan Socialism (Penguin Books, Middlesex) 1986



[1] , Alan Brown, Modern Political Philosophy (Penguin Books, Middlesex) 1986, p. 11
[2] Dikutip dari Kymlicka, 1990: Lihat juga Robert Nozick, Anarchy, State and Utopia (Basic Books, New York) 1974, p. 6
[3] Lihat, Jane Masbridge dan Susan Moller Okin, “Feminism”, dalam A Companion to Contemporary Political Philosophy, Robert E. Goodin and Philip Pettit Eds. (Blackwell, Victoria), 2004, pp. 269-290
[4] Bandingkan dengan diskusi tentang Major Ideologies yang mencakup tema-tema khusus seperti Anarkhism, Conservatism, Feminism, Liberalism, Marxisme, dan Socialism dalam  Goodin, Robert E. and Philip Pettit (eds.), Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More