A. Pendahuluan
Filsafat politik adalah ”kegiatan yang kompleks yang
hanya dapat dipahami dengan baik melalui analisis terhadap banyak sekali cara
yang dilakukan oleh mereka yang telah mengembangkannya” (Wolin 2004: 3).
Pada titik itulah pertanyaan filsafat politik dimulai.
Dengan rasionalitasnya manusia mencoba mempertanyakan apa hakikat dari
organisasi masyarakat yang baik (good) dan tepat (right) atau
“bagaimana cara hidup yang terbaik dan paling tepat bagi manusia, baik sebagai
individu maupun sebagai kelompok”. Pandangan semacam ini memang merujuk pada
pengertian modern atau kontemporer tentang filsafat politik, sebuah
tradisi yang berbeda dengan tradisi filsafat politik pada masa klasik dan abad
pertengahan, dan mengesampingkan pengaruh filsafat bahasa dan filsafat analitik
yang merupakan tradisi tersendiri.[1]
Namun, ada pengertian lain yang lebih fundamental tentang
keterkaitan yang erat antara filsafat politik dengan filsafat pada umumnya.
Filsafat dipahami sebagai usaha mengejar kebenaran hingga ke akar-akarnya,
meskipun kualitas esensial tentang apa yang ”politis” (political) mulai
mendapat perhatian di kalangan para ahli teori politik dan pokok masalah (subject
matter) filsafat politik mulai terbentuk dengan menentukan keterkaitannya
dengan apa yang dianggap ”publik” (Wolin, 2004: 4). Akan tetapi, karena
filsafat digambarkan sebagai usaha sistematis untuk memahami prinsip yang
mendasari semua hal, penyelidikan tentang apa yang ’politis’ (political)
dianggap harus membentuk bagian dari usaha berfilsafat secara umum (McBride,
1994: 1). Cicero menunjukkan pokok perhatian filsafat politik ketika menyebut Commonwealth
sebagai ”res publica”, yang artinya ’benda publik’ (public thing), atau
’milik rakyat’ (property of a people). Dengan ini, tatanan politik (political
arrangement) dipahami sebagai sesuatu yang unik, yang berhubungan dengan
sesuatu yang umum (common) dalam masyarakat. Satu-satunya institusi yang
menyaingi otoritas tatanan politik ini adalah Gereja abad pertengahan, meskipun
hal ini terjadi karena Gereja, dalam mengontrol ciri-ciri regim politik, telah
menjadi sesuatu yang berbeda dengan badan keagamaan.
Karena itu, filsafat politik dapat dilihat sebagai usaha
para filsuf dalam memberikan panduan dan jawaban untuk menanggapi masalah yang
menjadi perhatian masyarakat secara keseluruhan, yaitu masalah publik atau
politik. Dalam bahasa Robert N. Beck filsafat sosial (atau politik) adalah
”kritik kefilsafatan terhadap prinsip-prinsip yang mendasari proses sosial
(atau politik) dengan cara mengembangkan argumen yang dapat membenarkan
institusi-institusi sosial dan politik, baik sebagaimana adanya (as they actually
are), atau sebagaimana yang dibayangkan (as they imagined)” (Beck,
1967: 3). Saya berpendapat bahwa filsafat politik sebaiknya memang dikembangkan
sebagai studi tentang penilaian dan kritik moral terhadap proses yang melandasi
kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang diarahkan pada penciptaan susunan
organisasi masyarakat yang baik dan tepat. Ada dua keunggulan yang terdapat
dalam rumusan demikian itu: di satu pihak, karena ia menggarisbawahi, dan
menurut saya beralasan, bahwa ada hubungan yang erat antara filsafat politik
dengan praktek aktual, dan di pihak lain, karena ia mengakui bahwa filsafat
politik bukan sekedar hasil refleksi pasif atau citra bayangan (mirror
images) tentang masyarakat. Sebab, jauh sebelum manusia mulai berefleksi
atau berfilsafat tentang masyarakat, institusi politik dan struktur sosial
sudah ada lebih dahulu sehingga ”batas dan substansi dari subject matter
filsafat politik sebagian besar ditentukan oleh praktek-praktek yang sudah ada
dalam masyarakat” (Wolin, 2004:7). Akan tetapi, sebagian besar temuan penting
dalam studi filsafat politik juga terjadi dalam masa krisis, yaitu sebuah masa
ketika kerusakan institusional melepaskan fenomena politik menjadi tidak lagi
terintegrasi secara efektif, sehingga ”filsafat politik selalu mengandung aspek
aktif dan kreatif, yang terpisah atau berbeda dengan keadaan yang sedang
berlaku, dan secara demikian juga mengimplikasikan kritik terhadap keadaan yang
ada sekarang” (McBride, 1994: 3)
Filsafat politik juga memiliki sejumlah karakteristik
yang lain. Salah satu yang utama adalah studi filsafat politik pada dasarnya
merupakan cabang dari filsafat praktis (practical philosophy), yaitu
cabang filsafat yang, terkait erat dengan etika atau filsafat moral, menangani
pertanyaan moral dari kehidupan publik. Para ahli mengakui adanya kontinuitas
yang fundamental antara moralitas dan filsafat politik. Robert Nozick,
misalnya, mengatakan bahwa “filsafat moral menentukan latar-belakang dan batas
bagi filsafat politik“[2]. Namun, ada pandangan yang berbeda di antara para filsuf
politik menyangkut pembagian bidang moralitas dan filsafat politik dan tentang
kriteria untuk argumen yang dianggap paling berhasil (Kymlicka, 1990, p. 6).
Filsafat politik berbeda dengan etika: etika berhubungan dengan dimensi moral
pribadi, misalnya bagaimana seseorang seharusnya hidup, nilai atau gagasan
ideal apa yang seharusnya dipegang dan aturan hidup macam apa yang hendaknya
diperhatikan. Karena itu, sebagai cabang filsafat praktis, filsafat politik
berhubungan dengan sisi atau aspek sosial dari etika atau lebih tepat
berhubungan dengan pertanyaan tentang bagaimana pengaturan dan pengorganisasian
kehidupan masyarakat yang seharusnya (Brown, 1986, p. 11).
Namun, perbedaan antara moralitas pribadi (privat
morality) dan filsafat politik yang menekankan etika bersama tidak mudah
ditentukan. Aristoteles misalnya menyatakan dalam halaman pertama Politics-nya
bahwa negarawan (politikos) tidak boleh dikacaukan dengan pemilik budak
atau kepala rumah tangga: negawaran menyangkut sesuatu yang ’politis’,
sedangkan pemilik budak atau kepala rumah tangga tidak bersangkut paut dengan
yang ’politis’. Di sini, Aristoteles menyinggung kesulitan yang dialami para
filsuf politik dalam memisahkan subject-matter yang dalam realitasnya
tidak bisa dipisahkan. Kenyataannya, tanggungjawab moral yang ada pada
seseorang kepada orang lain kadang menjadi sesuatu yang pribadi, hanya
melibatkan peraturan perilaku personal, namun kadang juga menjadi masalah
publik yaitu harus dipaksakan melalui lembaga-lembaga politik. Misalnya, ketika
seorang wanita mengatakan bahwa ”yang pribadi adalah politis” (the personal
is political), ia mulai menyadari bahwa apa yang dianggap sebagai masalah
privat, domestik dan individual, dalam kenyataannya adalah publik dan struktural.[3] Jadi, salah satu persoalan yang dihadapi filsafat
politik dalam hubungannya dengan etika nampaknya terkait dengan pertanyaan mana
yang lebih penting antara moralitas pribadi dan moralitas publik dan juga
tentang konflik yang dapat ditolerir dari nilai-nilai moral politik dan
personal.
Karakteristik lain filsafat politik yang tak kalah
penting adalah sebagai pengetahuan normatif, yaitu bahwa filsafat
politik mencoba membentuk norma (aturan atau standar ideal), yang dapat
dibedakan dari pengetahuan deskriptif, yaitu mencoba menguraikan
bagaimana sesuatu secara apa adanya (Wolf, 2006: 2). Studi normatif mencari
tahu bagaimana sesuatu seharusnya: apa yang benar, adil dan secara moral tepat,
sementara studi politik deskriptif dilakukan oleh ilmuwan politik, sosiolog,
dan ahli sejarah. Maka, meskipun filsuf politik memiliki perhatian yang sama
seperti halnya ilmuwan politik yang mempertanyakan distribusi barang-barang
dalam sebuah masyarakat, misalnya, seorang filsuf politik (berbeda dengan
ilmuwan politik) akan memusatkan perhatiannya pada aturan atau prinsip apa yang
menentukan distribusi barang-barang tersebut. Seorang filsuf politik tidak
bertanya ’bagaimana properti didistribusikan’, tetapi ’distribusi properti
semacam apa yang adil dan fair’, ia tidak bertanya ’hak dan kebebasan apa yang
sesungguhnya dimiliki rakyat’ tetapi ’ hak dan kebebasan apa yang seharusnya
dimiliki rakyat’. Tentu saja, pembagian antara studi normatif dan studi
deskriptif tidak selalu sejelas seperti yang mungkin disangka karena masalah
perilaku manusia seringkali berada di antara dua titik pembagian deskriptif dan
normatif.
Cara lain yang kadang dilakukan untuk lebih memahami subject
matter filsafat politik adalah dengan membedakannya dari ilmu politik dan
teori politik. Menurut Brown (1986, p.14), pokok perhatian ilmu politik adalah
realitas atau peristiwa politik seperti perebutan kekuasaan, kecenderungan
memilih, hubungan antara kelas sosial dalam masyarakat dengan partai politik
dan teori yang menjelaskan realitas dari berbagai peristiwa politik itu.
Sebagai pengetahuan deskriptif, ilmu politik, tidak berkepentingan dengan
pertanyaan tentang nilai, yaitu pertanyaan benar dan salah dalam pengertian
etis, jadi nilai dianggap sebagai sesuatu yang dapat diabaikan atau setidaknya hanya
dilihat sebagai gagasan ideal. Akan tetapi, karena pertanyaan tentang nilai
harus dipertimbangkan, maka diperlukan disiplin ilmu yang menangani pertanyaan
ini. Disinilah teori politik dan filsafat politik muncul sebagai disiplin ilmu
pengetahuan yang dianggap relevan menangani pertanyaan tentang nilai, meskipun
ada perbedaan diantara keduanya:
Teori politik, di satu pihak, merupakan kumpulan
doktrin-doktrin tentang organisasi masyarakat politik yang diinginkan, seperti
liberalisme, sosialisme atau anarkisme. Doktrin teori politik adalah deskripsi
tentang kemungkinan bentuk masyarakat yang dianggap baik dan tepat dan
didalamnya juga terkandung berbagai rencana dan program politik, dan karena itu
sering diistilahkan sebagai ideologi.[4] Filsafat politik, di pihak lain, juga menaruh perhatian
terhadap doktrin-doktrin politik, namun berbeda dengan teori politik, filsafat
politik berkepentingan untuk memberikan landasan kefilsafatan terhadap
doktrin-doktrin normatif tersebut. Asumsinya adalah bahwa teori politik (dan
sebenarnya juga teori-teori ekonomi dan sosial) bisa saja tidak memiliki
justifikasi rasional, atau hanya merupakan bentuk rasionalisasi praktek
politik, ekonomi dan sosial yang dikembangkan berdasarkan kepercayaan semata
melalui otoritas tertentu seperti agama. Karena itu, perhatian filsafat politik
diarahkan pada usaha memberikan kritik atau justifikasi terhadap
doktrin-doktrin atau teori-teori itu. Jadi, minat filsafat politik dapat
dibedakan dari teori politik dalam hal bahwa ada kebutuhan untuk memberikan
landasan rasional atas nilai-nilai, ideal-ideal dan prinsip-prinsip yang
memberikan bentuk pada teori atau doktrin itu.
B. Fasisme
Fasisme
(/ fæʃɪzəm /) adalah, gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Fasis
berusaha untuk mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan
sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi. Mereka menganjurkan pembentukan
partai tunggal negara totaliter yang berusaha mobilisasi massa suatu bangsa dan
terciptanya "manusia baru" yang ideal untuk membentuk suatu elit
pemerintahan melalui indoktrinasi, pendidikan fisik, dan eugenika kebijakan
keluarga termasuk.
Fasis percaya bahwa bangsa memerlukan kepemimpinan
yang kuat, identitas kolektif tunggal, dan akan dan kemampuan untuk melakukan
kekerasan dan berperang untuk menjaga bangsa yang kuat. pemerintah Fasis
melarang dan menekan oposisi terhadap negara. Fasisme didirikan oleh sindikalis
nasional Italia dalam Perang Dunia I yang menggabungkan
sayap kiri dan sayap kanan pandangan politik, tapi condong ke kanan di awal
1920-an. Para sarjana umumnya menganggap fasisme berada di paling kanan. Fasis
meninggikan kekerasan, perang, dan militerisme sebagai memberikan
perubahan positif dalam masyarakat, dalam memberikan renovasi spiritual, pendidikan,
menanamkan sebuah keinginan untuk mendominasi dalam karakter orang, dan
menciptakan persaudaraan nasional melalui dinas militer Fasis kekerasan melihat
dan perang sebagai tindakan yang menciptakan regenerasi semangat, nasional dan
vitalitas. Fasisme adalah anti-komunisme, anti-demokratis,
anti-individualis, anti-liberal, anti-parlemen, anti-konservatif, anti-borjuis
dan anti-proletar, dan dalam banyak kasus anti-kapitalis Fasisme. menolak
konsep-konsep egalitarianisme, materialisme, dan rasionalisme yang mendukung
tindakan, disiplin, hirarki, semangat, dan keinginan. Dalam ilmu ekonomi, fasis
menentang liberalisme
(sebagai gerakan borjuis) dan Marxisme (sebagai sebuah gerakan proletar)
untuk menjadi eksklusif ekonomi berbasis kelas gerakan Fasis ini. ideologi
mereka seperti yang dilakukan oleh gerakan ekonomi trans-kelas yang
mempromosikan menyelesaikan konflik kelas ekonomi untuk mengamankan solidaritas
nasional Mereka mendukung, diatur multi-kelas, sistem ekonomi nasional yang
terintegrasi.
Fasisme adalah sebuah ideologi yang lahir dan
berkembang pada abad ke-20. Fasisme menyebar dengan sangat pesat di seluruh
dunia pada permulaan Perang Dunia I, dengan berkuasanya rezim fasis di Jerman
dan Italia pada khususnya, namun juga di negara-negara seperti Yunani, Spanyol
dan Jepang. Pemerintahan fasis adalah pemerintahan yang penuh dengan kekerasan
karena itulah rakyat sangat menderita dengan cara-cara pemerintahan ideologi
ini. Diktator fasis dan pemerintahannya tidak segan-segan untuk melakukan
pemerintahan yang brutal, penuh dengan agresi dan pertumpahan darah serta
kekerasan dan semua itu dijadikan sebuah hukum pada pemerintahannya.
Pemerintahan fasis mengirimkan gelombang teror ke seluruh rakyat melalui polisi
rahasia dan milisi fasis mereka. Pemerintahan bahkan diterapkan hampir di semua
tingkat kemasyarakatan mulai dari pendidikan, budaya, agama, seni, sistem
pemerintahan, militer dan organisasi-organisasi politik
Dari urai
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa jika fasisme terjadi di Negara kita itu
sangat berbahaya dalam mensejahtrahkan
bangsa ini, kerena dampaknya amat berbahaya dilihat dari keadaan bangsa kita
yang multicultural budaya, ras, suku dan lain sebagainya. Jika itu terjadi maka
aka nada penindasan terhadap yang lemah.
Sedangkan tujuan dari politik yang paling hakiki
adalah menciptakan kesejahtaraan bagi masyarakat, bangsa dan Negara. Bukan
kekuasan yang dipertahankan dan redekalisme yang dikembangkan. Kesejahtaraan
masyarakat merupakan tujuan utama dari politik itu sendiri.
Daftar pustaka.
Robert Nozick, Anarchy,
State and Utopia (Basic Books, New York) 1974
Alan Brown, Modern
Political Philosophy (Penguin Books, Middlesex) 1986
Robert E. Goodin and
Philip Pettit Eds. Companion to Contemporary Political Philosophy, (Blackwell, Victoria), 2004
Goodin, Robert E. and Philip Pettit Anarkhism,
Conservatism, Feminism, Liberalism, Marxisme, dan Socialism (Penguin
Books, Middlesex) 1986
[1] ,
Alan Brown, Modern Political Philosophy (Penguin Books, Middlesex) 1986,
p. 11
[2] Dikutip dari Kymlicka, 1990:
Lihat juga Robert Nozick, Anarchy, State and Utopia (Basic Books, New York) 1974, p. 6
[3] Lihat, Jane Masbridge dan Susan
Moller Okin, “Feminism”, dalam A Companion to Contemporary Political
Philosophy, Robert E. Goodin and Philip Pettit Eds. (Blackwell, Victoria),
2004, pp. 269-290
[4] Bandingkan
dengan diskusi tentang Major Ideologies yang mencakup tema-tema khusus
seperti Anarkhism, Conservatism, Feminism, Liberalism, Marxisme, dan
Socialism dalam Goodin, Robert E.
and Philip Pettit (eds.), Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar